BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
sejarah kehidupan masyarakat, pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang paling
hakiki bagi kelangsungan hidup manusia, karena dengan pendidikanlah manusia
mampu mengantarkan hidupnya secara ideal. Pendidikan juga merupakan penolong
utama bagi manusia untuk menjalani hidup ini. Karena tanpa pendidikan, manusia
sekarang ini tidak akan berbeda dengan keadaan masa-masa purba dahulu. Asumsi
ini melahirkan teori yang ekstrim, bahwa maju mundur atau baik buruknya suatu
bangsa akan ditentukan oleh keadaan pendidikan yang dijalani bangsa itu.[1]
Paulo
Freire adalah seorang ahli dan praktisi
pendidikan Barat. Menurut Freire pendidikan haruslah berorientasi kepada
pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak
cukup hanya bersifat objektif atau subjektif, tapi harus kedua-duanya. Guru
adalah subjek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan
diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang
diajarkan kepada mereka, sebagai objek pengetahuan teoritis yang tidak
berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi
informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.[2]
Paulo
Freire menginginkan anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang
bertindak dan berfikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil
tindakan dan buah pikirannya. Begitu juga sang guru. Freire menekankan peran
guru sebagai pekerja budaya yang kritis. Guru harus berjuang menghadapi nilai
kultural dominan dalam masyarakat maupun dirinya sendiri agar dapat mengerti
fungsi politik dan kultural mereka.[3]
Pembahasan yang menurut pembuat makalah
ini sangat menarik bagaimana konsep pendidikan dan ruang lingkup guru dan murid
akan lebih detail pembahasanya di BAB II.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Pengertian Pendidik Itu?
2. Bagaimana
Guru Perspektif Paulo Freire?
3. Bagaimana
Murid Perspektif Paulo Freire?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidik
Pendidik
adalah seseorang yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada
anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai kedewasaanya,
mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk Allah, khalifah di permukaan bumi,
sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.[4]
Istilah lain yang lazim dipergunakan
untuk pendidik ialah guru. Istilah tersebut sering sekali dipakai di lingkungan
formal, informal dan non-formal.[5]
Dalam
hal ini pendidik bisa bearti banyak, tinggal bagaimana memaknainya dengan
melihat konteksnya. Menurut Moh. Athiyah Al-Abrasyi pendidik itu ada tiga macam
Pertama,
Pendidik Kuttab (Pendidik yang mengajarkan Al-Qur’an kepada peserta didik di
Kuttab), Kedua, Pendidik khusus
(Pendidik yang memberikan mata pelajaran khusus “Privat”), Ketiga, Pendidik Umum (Mengajar di lembaga-lembaga pendidikan dan
mengelola atau melaksanakan pendidikan secara formal).[6]
B. Guru Perspektif
Paulo Freire
Berangkat dari pandangan bahwa fitrah
manusia adalah bebas dan merdeka. Yang menempatkan manusia sebagai pelaku atau
subyek, karena fitrah manusia sejati bukanlah sebagai penderita atau obyek.
Untuk itu dalam pandangan pendidikan Freire antara pendidik dan anak didik
sama-sama diletakkan sebagai subyek pendidikan yang sadar akan dirinya, yang
sama-sama ingin mengetahui lebih banyak realitas dan pengetahuan sebagai
obyeknya.
Oleh karena itu, pendidikan Freire
menempatkan guru dan murid dalam posisi belajar bersama, masing-masing memiliki
peran sebagai subyek, atau sebagai pendidik-terdidik yang sama sekali tidak
menimbulkan kontradiksi.[7] Di
sini terlihat adanya posisi “guru yang murid” dan “murid yang guru”, karena
keduanya saling berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan secara
horisontal.
Guru menurut Freire adalah seorang guru
yang berada dalam proses pendidikan yang demokratis, yaitu mempunyai
kepercayaan kepada siswanya sebagai makhluk yang tidak hanya mampu
mendiskusikan masalah, tetapi juga mampu mengatasi masalah.
Maksud diatas, dalam proses belajar
mengajar hendaknya ada hubungan dialog antara siswa dengan guru, dan
kontradiksi antara keduanya harus dihapuskan supaya terjadi pendidikan yang
benar. Gurupun diajari melalui dialog dengan siswa. Tak ada seorang mengajar
yang lain, dan juga tidak ada yang mengajar diri sendiri. Jadi fungsi guru di
sini adalah sebagai fasilitator bagi siswanya untuk memahami realitas dan
dirinya.
Bagi seorang humanis, Freire berpendapat
bahwa seorang pendidik yang revolusioner, akan mencari usaha-usaha agar siswa
terlibat dalam pemikiran kritis serta usaha-usaha ke arah humanisasi satu sama
lain. Usaha-usaha tersebut harus dilandasi oleh keyakinan-keyakinan yang
mendalam terhadap sesama manusia dan daya cipta mereka.
Untuk mencapainya, ia mesti menjadi
seorang rekan bagi siswa-siswanya pada saat berhubungan dengan mereka.[8]
Dengan kata lain, seorang guru harus menjadi fasilitator, motivator, dan
dinamisator bagi siswanya agar tercipta suasana komunikatif dalam proses
belajar mengajar. Tujuan utama para
pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka
sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi
yang ada dalam diri mereka.[9]
C. Murid Menurut
Paulo Freire
Sebagaimana telah dipaparkan di depan,
bahwa fitrah manusia menempatkan manusia sebagai pelaku atau subjek. Maka
pendapat tersebut sama dengan pandangan Freire yang menyatakan antara pendidik
dan anak didik sama-sama diletakkan sebagai subjek pendidikan yang sadar akan
dirinya. Dan Freire menempatkan keduanya dalam posisi sejajar, karena saling
berinteraksi dalam memberikan informasi pengatahuan.
Freire memberikan pendapat bahwa anak
didik adalah makhluk bebas yang memiliki alamnya sendiri sehingga mereka tidak
seharusnya diperlakuakan seperti robot atau mainan yang bisa dipermainkan
secara manipulatif.
Anak-anak didik adalah makhluk yang
memiliki nasib dan masa depan pendidikan masing-masing sehingga peran seorang
pendidik dalam pendidikan adalah mengarahkan mereka sesuai dengan potensi dan
bakat yang dimilikinya. Dengan kata lain, anak didik adalah makhluk yang
dilahirkan sebagai sosok-sosok dengan kebebasan dan kemerdekaan untuk
mewujudkan eksistensi dirinya secara terbuka dan mandiri. Mereka
mengaktualisasikan segala potensi dan bakatnya dengan mandiri dan terbuka pula.[10] Untuk
dapat mengembangkan potensi-potensi anak didik, mereka memerlukan bimbingan
dari orang yang lebih dewasa dalam pembelajarannya.
Menurut Freire belajar adalah proses di
mana orang bergerak maju dari tingkat kesadaran yang lebih rendah menuju kepada
tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
Belajar mulai dengan menilai tahap
kesadaran yang sekarang sebagaimana muncul dalam bahasa, konsep diri, pandangan
tentang dunia dan kondisi hidup kongkrit. Menjadi dasar atas relatifnya
realitas sosial merupakan awal dari belajar. Orang mulai mengerti bahwa
realitas sosial ini bisa dirubah. Maka belajar merupakan suatu gerakan menuju
kesadaran kritis, belajar merupakan proses yang bersifat aktif. Proses belajar di
atas mulai dengan kata-kata, ide-ide dan situasi hidup murid. Pendidikan
mempergunakannya untuk mengkodifikasikan alam dunia kongkrit yang sudah menjadi
dunia sehari-hari para murid.
Dengan demikian proses belajar merupakan
proses ditantang dan menantang oleh situasi kehidupan seseorang dan oleh
situasi realitas sosial-budaya di mana ia berada.
Selanjutnya, tugas guru disini adalah
untuk menolong murid untuk memeriksa, menantang, dan mengkritik situasi dunua
kongkrit murid yang dihadirkan secara verbal maupun gambar.[11]
Freire juga mengatakan bahwa
sesungguhnya, belajar (studying) itu
merupakan suatu pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap
kritis-sistematik (systematic critical attitude) dan kemampuan
intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik langsung. Sikap kritis
manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan yang bergaya bank (banking
education), yang akan dibahas pada penjelasan berikutnya,
Berikut ini beberapa cara untuk
mengembangkan sikap kritis dalam belajar pada anak didik menurut Freire:
a. Pembaca
harus mengetahui peran dirinya. Tidak mungkin orang dapat belajar dengan serius
juka motivasi membaca disebabkan oleh ketertarikan terhadap daya pikat
kata-kata pengarangnya, terpesona oleh kekuatan magis, atau jika ia membiarkan
dirinya diserbu oleh pemikiran pengarang.
Mempelajari sebuah teks secara serius memerlukan
analisa terhadap sebuah bidang kajian yang ditulis oleh orang yang
mempelajarinya.
Belajar adalah sebuah bentuk penemuan kembali (reinventing), penciptaan kembali (recreating),
penulisan ulang (rewriting), dan ini merupakan tugas seorang subjek,
bukan objek.
Sikap kritis dalam belajar sama dengan sikap yang
diperlukan untuk menghadapi dunia (yakni dunia dan kehidupan nyata pada
umumnya), untuk bertanya dalam hati, yang dimulai dengan terus mengamati
kebenaran yang tersembunyi di balik fakta yang dipaparkan dalam teks- teks.
b. Pada
dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia. Karena praktik ini
merupakan sikap terhadap dunia, maka praktik ini tidak dapat direduksi menjadi
sekedar hubungan antara pembaca dan teks. Dengan demikian, belajar adalah
memikirkan pengalaman, dan memikirkan pengalaman adalah cara terbaik untuk
berfikir secara benar.
Orang yang sedang belajar tidak boleh menghentikan
rasa ingin tahunya terhadap orang lain dan kehidupan nyata. Mereka itu selalu
bertanya dan berusaha menemukan jawaban, serta terus mencarinya.
c. Kapan
saja mempelajari sesuatu kita dituntut menjadi lebih akrab dengan bibliografi
yang telah kita baca, dan juga bidang studi secara umum atau bidang studi yang
kita alami.
d. Prilaku
belajar mengasumsikan hubungan diakletis antara pembaca dan penulis yang
refleksinya dapat ditemukan dalam tema teks tersebut. Dialetika ini melibatkan
pengalam sosio-historis dan idiologi penulis, yang tentu tidak sama dengan
pengalam pembaca.
e. Perilaku
belajar menuntut rasa rendah hati. Jika kita benar-benar mempunyai sikap rendah
hati dan kritis, kita tidak perlu merasa bodoh sewaktu kita dihadapkan kepada
kesulitan yang besar untuk memahami makna sebenarnya dari suatu teks.
Teks yang kita baca tidak selalu mudah untuk
dipahami. Dengan sikap rendah hati dan kritis kita lantas mengetahui bahwa teks
tersebut bisa jadi berada di luar kemampuan kita untuk memahaminya, sehingga
teks itu menjadi sebuah tantangan tersendiri. Belajar bukanlah mengkonsumsi
ide, namun menciptakan dan terus menciptakan ide.[12]
Dapat disimpulkan
bahwasanya pengajaran Freire disajikan menggunakan kata-kata
"generatif" untuk dipelajari oleh semua orang saat mereka mulai
membaca dan menulis. Pemilihan kata-kata generative ini didasarkan pada hasil
investigasi dan diskusi tentang kehidupan di tiap-tiap daerah. Kata-kata
tersebut disebut generative karena dua alasan :
1. karena
kata-kata itu dapat mendorong diskusi masalah-masalah yang akrab tentang
kepentingan sehari-hari dari orang-orang yang buta huruf.
2. karena
dalam bahasa Romawi kata-kata yang bersuku kata banyak dapat dengan mudah
dipisah-pisahkan ke dalam komponen-komponen suku kata mereka dan kemudian
digunakan untuk membentuk kata-kata baru.
Dengan menggunakan kata-kata generatif
yang dapat dirubah-rubah, para petani cepat belajar membaca dan mengeja. Tetapi
Freire tidak membatasi metodenya hanya pada suatu transfer keterampilan.
Kata-kata generative tadi menunjukkan
situasi kehidupan nyata manusia dalam hubungannya dengan dunia sekitar mereka,
dan karenanya kata seperti favela (kumuh)
tidak hanya digunakan untuk mengajari orang membaca suku kata fa-fe-fi-fo-fu,
va-ve-vi-vo-vu, la-le-li-lo-lu, dan untuk melihat kemungkinan mengkombinasikan
suku kata-suku kata ini untuk membentuk kata- kata baru.
Gambar sebuah perkampungan kumuh,
bersama dengan diskusi tentang kehidupan kumuh memperkenalkan "tema-tema
generatifa" yang baru dan kata- kata baru untuk dibaca, dan ditulis yang
mengarahkan perhatian para petani pada masalah perumahan, makanan, pakaian,
kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
Kemudian berkembang ke tema-tema yang
menggambarkan kehidupan dan budaya manusia sebagai permasalah yang harus
dipecahkan oleh orang-orang itu: kelaparan, ketergantungan, dan sebagainya.[13]
BAB III
PENETUP
A. Kesimpulan
Pendidik adalah seseorang yang
bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam
perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai kedewasaanya, mampu melaksanakan
tugas sebagai makhluk Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai makhluk sosial
dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.[14]
Selanjutnya, bagaimana guru dan murid
menempatkan posisinya, pendidikan Freire menempatkan guru dan murid dalam
posisi belajar bersama, masing-masing memiliki peran sebagai subyek, atau
sebagai pendidik-terdidik yang sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi.[15]
Di sini terlihat adanya posisi “guru yang murid” dan “murid yang guru”, karena
keduanya saling berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan secara
horisontal.
Guru menurut Freire adalah seorang guru
yang berada dalam proses pendidikan yang demokratis, yaitu mempunyai
kepercayaan kepada siswanya sebagai makhluk yang tidak hanya mampu
mendiskusikan masalah, tetapi juga mampu mengatasi masalah.
Dengan demikian, Anak-anak didik adalah
makhluk yang memiliki nasib dan masa depan pendidikan masing-masing sehingga
peran seorang pendidik dalam pendidikan adalah mengarahkan mereka sesuai dengan
potensi dan bakat yang dimilikinya. Dengan kata lain, anak didik adalah makhluk
yang dilahirkan sebagai sosok-sosok dengan kebebasan dan kemerdekaan untuk
mewujudkan eksistensi dirinya secara terbuka dan mandiri. Mereka mengaktualisasikan
segala potensi dan bakatnya dengan mandiri dan terbuka pula.[16]
Untuk dapat mengembangkan potensi-potensi anak didik, mereka memerlukan
bimbingan dari orang yang lebih dewasa dalam pembelajarannya.
B. Saran
Dari hasil kesimpulan di atas, perlu kiranya
penulis dan pembaca memberikan saran konstruktif bagi dunia pendidikan, baik
bagi pendidik maupun instansi yang menangani pendidikan.
Pertama,
demi terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif, para pendidik harus
mampu memahami psikologi peserta didik, dan latar belakang siswa sehingga tidak
terjadi kontradiksi pahaman atau konflik karena perbedaan peserta didik yang
satu dengan yang lain.
Kedua, Dalam proses
pembelajaran pendidik harus memberi kesempatan seluas-luasnya terhadap peserta
didik tanpa membeda-bedakan latar belakang sosial, ekonomi, suku, ataupun
agama, semuanya memiliki hak yang sama.
Ketiga,
perlunya sosialisasi terhadap para pendidik ataupun masyarakat luas bahwa
keberagaman adalah suatu keniscayaan yang sudah ada sejak dahulu, dan yang
penting adalah menghargai pandangan, keyakinan dan budaya orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Arief dan Fuad F. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan
dan Pembebasan. Yogyakarta:
REaD, 2007.
Collins,
Denis. Paulo Freire, Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya. Yogyakarta:Komunitas
APIRU Yogyakarta, 2002.
Dhakiri, Hanif. Paulo Freire,
Islam Pembebasan. Jakarta: Djembatan dan Pena, 2000.
Freire, Paulo. Pendidikan
Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008.
---------,
Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan Yogyakarta: ReaD
& Pustaka Pelajar, 2007.
Martin
Sardy. Pendidikan Manusia. Bandung: Alumni, 1985.
Palmer,
Joy A. 50 Pemikir Paling Berpengaruh
Terhadap Dunia Pendidikan Modern. Jogjakarta: Laksana, 2010.
Uhbiyati Nur, Ilmu Pendidikan Islam Bandung : CV.
Pustaka Setiya,1998.
Yamin, Moh. Menggugat
Pendidikan Indonesia, Belajar dari Paulo Freire dan Kihadjar D8ewantara. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2009.
[1] Muslih
Usa, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991), h. 8.
[2] Agung
P, Fuad Arief F, Politik Pendidikan
Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (Yogyakarta: REaD, 2007), h. xi
[3] Joy
A. Palmer, 50 Pemikir Paling Berpengaruh
Terhadap Dunia Pendidikan Modern (Jogjakarta: Laksana, 2010), h.216.
[4] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung : CV. Pustaka
Setiya,1998), H.65.
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Muh. Hanif. Dhakiri, Paulo
Freire, Islam Pembebasan (Jakarta: Djembatan dan Pena, 2000), h. 54.
[8] Paulo Freire, Pendidikan Kaum
Tertindas, h. 55.
[10] Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan
Indonesia, Belajar dari Paulo Freire dan Kihadjar Dewantara (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2009), h. 159.
[11] Martin Sardy. Pendidikan
Manusia (Bandung: ALUMNI, 1985), h.
138-139.
[12] Paulo Freire. Politik
Pendidkan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (Yogyakarta: ReaD dan
Pustaka Pelajar, 2002), h. 29-32.
[13] Denis Collins. Paulo Freire,
Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya (Yogyakarta:Komunitas APIRU Yogyakarta,
2002), h. 22.
[14] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung : CV.
Pustaka Setiya,1998), H.65.
[15] Muh. Hanif. Dhakiri, Paulo
Freire, Islam Pembebasan (Jakarta: Djembatan dan Pena, 2000), h. 54.
[16] Moh. Yamin. Menggugat
Pendidikan Indonesia, Belajar dari Paulo Freire dan Kihadjar Dewantara (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2009), h. 159.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar