Kamis, 11 Februari 2016

Konsep Pendidikan Paulo Freire



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam sejarah kehidupan masyarakat, pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang paling hakiki bagi kelangsungan hidup manusia, karena dengan pendidikanlah manusia mampu mengantarkan hidupnya secara ideal. Pendidikan juga merupakan penolong utama bagi manusia untuk menjalani hidup ini. Karena tanpa pendidikan, manusia sekarang ini tidak akan berbeda dengan keadaan masa-masa purba dahulu. Asumsi ini melahirkan teori yang ekstrim, bahwa maju mundur atau baik buruknya suatu bangsa akan ditentukan oleh keadaan pendidikan yang dijalani bangsa itu.[1]
Paulo Freire adalah seorang ahli  dan praktisi pendidikan Barat. Menurut Freire pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subjektif, tapi harus kedua-duanya. Guru adalah subjek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai objek pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.[2]
Paulo Freire menginginkan anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berfikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu juga sang guru. Freire menekankan peran guru sebagai pekerja budaya yang kritis. Guru harus berjuang menghadapi nilai kultural dominan dalam masyarakat maupun dirinya sendiri agar dapat mengerti fungsi politik dan kultural mereka.[3]
Pembahasan yang menurut pembuat makalah ini sangat menarik bagaimana konsep pendidikan dan ruang lingkup guru dan murid akan lebih detail pembahasanya di BAB II.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Pengertian Pendidik Itu?
2.    Bagaimana Guru Perspektif Paulo Freire?
3.    Bagaimana Murid Perspektif Paulo Freire?
BAB II

PEMBAHASAN


A.  Pengertian Pendidik
            Pendidik adalah seseorang yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai kedewasaanya, mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.[4]
            Istilah lain yang lazim dipergunakan untuk pendidik ialah guru. Istilah tersebut sering sekali dipakai di lingkungan formal, informal dan non-formal.[5]
            Dalam hal ini pendidik bisa bearti banyak, tinggal bagaimana memaknainya dengan melihat konteksnya. Menurut Moh. Athiyah Al-Abrasyi pendidik itu ada tiga macam
     Pertama, Pendidik Kuttab (Pendidik yang mengajarkan Al-Qur’an kepada peserta didik di Kuttab), Kedua, Pendidik khusus (Pendidik yang memberikan mata pelajaran khusus “Privat”), Ketiga, Pendidik Umum (Mengajar di lembaga-lembaga pendidikan dan mengelola atau melaksanakan pendidikan secara formal).[6]
B.  Guru Perspektif Paulo Freire
Berangkat dari pandangan bahwa fitrah manusia adalah bebas dan merdeka. Yang menempatkan manusia sebagai pelaku atau subyek, karena fitrah manusia sejati bukanlah sebagai penderita atau obyek. Untuk itu dalam pandangan pendidikan Freire antara pendidik dan anak didik sama-sama diletakkan sebagai subyek pendidikan yang sadar akan dirinya, yang sama-sama ingin mengetahui lebih banyak realitas dan pengetahuan sebagai obyeknya.
Oleh karena itu, pendidikan Freire menempatkan guru dan murid dalam posisi belajar bersama, masing-masing memiliki peran sebagai subyek, atau sebagai pendidik-terdidik yang sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi.[7] Di sini terlihat adanya posisi “guru yang murid” dan “murid yang guru”, karena keduanya saling berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan secara horisontal.
Guru menurut Freire adalah seorang guru yang berada dalam proses pendidikan yang demokratis, yaitu mempunyai kepercayaan kepada siswanya sebagai makhluk yang tidak hanya mampu mendiskusikan masalah, tetapi juga mampu mengatasi masalah.
Maksud diatas, dalam proses belajar mengajar hendaknya ada hubungan dialog antara siswa dengan guru, dan kontradiksi antara keduanya harus dihapuskan supaya terjadi pendidikan yang benar. Gurupun diajari melalui dialog dengan siswa. Tak ada seorang mengajar yang lain, dan juga tidak ada yang mengajar diri sendiri. Jadi fungsi guru di sini adalah sebagai fasilitator bagi siswanya untuk memahami realitas dan dirinya.
Bagi seorang humanis, Freire berpendapat bahwa seorang pendidik yang revolusioner, akan mencari usaha-usaha agar siswa terlibat dalam pemikiran kritis serta usaha-usaha ke arah humanisasi satu sama lain. Usaha-usaha tersebut harus dilandasi oleh keyakinan-keyakinan yang mendalam terhadap sesama manusia dan daya cipta mereka.
Untuk mencapainya, ia mesti menjadi seorang rekan bagi siswa-siswanya pada saat berhubungan dengan mereka.[8] Dengan kata lain, seorang guru harus menjadi fasilitator, motivator, dan dinamisator bagi siswanya agar tercipta suasana komunikatif dalam proses belajar mengajar. Tujuan utama para pendidik adalah   membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.[9]

C.  Murid  Menurut Paulo Freire
Sebagaimana telah dipaparkan di depan, bahwa fitrah manusia menempatkan manusia sebagai pelaku atau subjek. Maka pendapat tersebut sama dengan pandangan Freire yang menyatakan antara pendidik dan anak didik sama-sama diletakkan sebagai subjek pendidikan yang sadar akan dirinya. Dan Freire menempatkan keduanya dalam posisi sejajar, karena saling berinteraksi dalam memberikan informasi pengatahuan.
Freire memberikan pendapat bahwa anak didik adalah makhluk bebas yang memiliki alamnya sendiri sehingga mereka tidak seharusnya diperlakuakan seperti robot atau mainan yang bisa dipermainkan secara manipulatif.
Anak-anak didik adalah makhluk yang memiliki nasib dan masa depan pendidikan masing-masing sehingga peran seorang pendidik dalam pendidikan adalah mengarahkan mereka sesuai dengan potensi dan bakat yang dimilikinya. Dengan kata lain, anak didik adalah makhluk yang dilahirkan sebagai sosok-sosok dengan kebebasan dan kemerdekaan untuk mewujudkan eksistensi dirinya secara terbuka dan mandiri. Mereka mengaktualisasikan segala potensi dan bakatnya dengan mandiri dan terbuka pula.[10] Untuk dapat mengembangkan potensi-potensi anak didik, mereka memerlukan bimbingan dari orang yang lebih dewasa dalam pembelajarannya.
Menurut Freire belajar adalah proses di mana orang bergerak maju dari tingkat kesadaran yang lebih rendah menuju kepada tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
Belajar mulai dengan menilai tahap kesadaran yang sekarang sebagaimana muncul dalam bahasa, konsep diri, pandangan tentang dunia dan kondisi hidup kongkrit. Menjadi dasar atas relatifnya realitas sosial merupakan awal dari belajar. Orang mulai mengerti bahwa realitas sosial ini bisa dirubah. Maka belajar merupakan suatu gerakan menuju kesadaran kritis, belajar merupakan proses yang bersifat aktif. Proses belajar di atas mulai dengan kata-kata, ide-ide dan situasi hidup murid. Pendidikan mempergunakannya untuk mengkodifikasikan alam dunia kongkrit yang sudah menjadi dunia sehari-hari para murid.
Dengan demikian proses belajar merupakan proses ditantang dan menantang oleh situasi kehidupan seseorang dan oleh situasi realitas sosial-budaya di mana ia berada.
Selanjutnya, tugas guru disini adalah untuk menolong murid untuk memeriksa, menantang, dan mengkritik situasi dunua kongkrit murid yang dihadirkan secara verbal maupun gambar.[11]
Freire juga mengatakan bahwa sesungguhnya, belajar (studying) itu merupakan suatu pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap kritis-sistematik (systematic critical attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik langsung. Sikap kritis manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan yang bergaya bank (banking education), yang akan dibahas pada penjelasan berikutnya,
Berikut ini beberapa cara untuk mengembangkan sikap kritis dalam belajar pada anak didik menurut Freire:
a.       Pembaca harus mengetahui peran dirinya. Tidak mungkin orang dapat belajar dengan serius juka motivasi membaca disebabkan oleh ketertarikan terhadap daya pikat kata-kata pengarangnya, terpesona oleh kekuatan magis, atau jika ia membiarkan dirinya diserbu oleh pemikiran pengarang.
Mempelajari sebuah teks secara serius memerlukan analisa terhadap sebuah bidang kajian yang ditulis oleh orang yang mempelajarinya.
Belajar adalah sebuah bentuk penemuan kembali (reinventing), penciptaan kembali (recreating), penulisan ulang (rewriting), dan ini merupakan tugas seorang subjek, bukan objek.
Sikap kritis dalam belajar sama dengan sikap yang diperlukan untuk menghadapi dunia (yakni dunia dan kehidupan nyata pada umumnya), untuk bertanya dalam hati, yang dimulai dengan terus mengamati kebenaran yang tersembunyi di balik fakta yang dipaparkan dalam teks- teks.
b.      Pada dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia. Karena praktik ini merupakan sikap terhadap dunia, maka praktik ini tidak dapat direduksi menjadi sekedar hubungan antara pembaca dan teks. Dengan demikian, belajar adalah memikirkan pengalaman, dan memikirkan pengalaman adalah cara terbaik untuk berfikir secara benar.
Orang yang sedang belajar tidak boleh menghentikan rasa ingin tahunya terhadap orang lain dan kehidupan nyata. Mereka itu selalu bertanya dan berusaha menemukan jawaban, serta terus mencarinya.
c.       Kapan saja mempelajari sesuatu kita dituntut menjadi lebih akrab dengan bibliografi yang telah kita baca, dan juga bidang studi secara umum atau bidang studi yang kita alami.
d.      Prilaku belajar mengasumsikan hubungan diakletis antara pembaca dan penulis yang refleksinya dapat ditemukan dalam tema teks tersebut. Dialetika ini melibatkan pengalam sosio-historis dan idiologi penulis, yang tentu tidak sama dengan pengalam pembaca.
e.       Perilaku belajar menuntut rasa rendah hati. Jika kita benar-benar mempunyai sikap rendah hati dan kritis, kita tidak perlu merasa bodoh sewaktu kita dihadapkan kepada kesulitan yang besar untuk memahami makna sebenarnya dari suatu teks.
Teks yang kita baca tidak selalu mudah untuk dipahami. Dengan sikap rendah hati dan kritis kita lantas mengetahui bahwa teks tersebut bisa jadi berada di luar kemampuan kita untuk memahaminya, sehingga teks itu menjadi sebuah tantangan tersendiri. Belajar bukanlah mengkonsumsi ide, namun menciptakan dan terus menciptakan ide.[12]

Dapat disimpulkan bahwasanya pengajaran Freire disajikan menggunakan kata-kata "generatif" untuk dipelajari oleh semua orang saat mereka mulai membaca dan menulis. Pemilihan kata-kata generative ini didasarkan pada hasil investigasi dan diskusi tentang kehidupan di tiap-tiap daerah. Kata-kata tersebut disebut generative karena dua alasan :
1.    karena kata-kata itu dapat mendorong diskusi masalah-masalah yang akrab tentang kepentingan sehari-hari dari orang-orang yang buta huruf.
2.    karena dalam bahasa Romawi kata-kata yang bersuku kata banyak dapat dengan mudah dipisah-pisahkan ke dalam komponen-komponen suku kata mereka dan kemudian digunakan untuk membentuk kata-kata baru.
Dengan menggunakan kata-kata generatif yang dapat dirubah-rubah, para petani cepat belajar membaca dan mengeja. Tetapi Freire tidak membatasi metodenya hanya pada suatu transfer keterampilan.
Kata-kata generative tadi menunjukkan situasi kehidupan nyata manusia dalam hubungannya dengan dunia sekitar mereka, dan karenanya kata seperti favela (kumuh) tidak hanya digunakan untuk mengajari orang membaca suku kata fa-fe-fi-fo-fu, va-ve-vi-vo-vu, la-le-li-lo-lu, dan untuk melihat kemungkinan mengkombinasikan suku kata-suku kata ini untuk membentuk kata- kata baru.
            Gambar sebuah perkampungan kumuh, bersama dengan diskusi tentang kehidupan kumuh memperkenalkan "tema-tema generatifa" yang baru dan kata- kata baru untuk dibaca, dan ditulis yang mengarahkan perhatian para petani pada masalah perumahan, makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
Kemudian berkembang ke tema-tema yang menggambarkan kehidupan dan budaya manusia sebagai permasalah yang harus dipecahkan oleh orang-orang itu: kelaparan, ketergantungan, dan sebagainya.[13]


BAB III
PENETUP
A.  Kesimpulan
            Pendidik adalah seseorang yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai kedewasaanya, mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.[14]
Selanjutnya, bagaimana guru dan murid menempatkan posisinya, pendidikan Freire menempatkan guru dan murid dalam posisi belajar bersama, masing-masing memiliki peran sebagai subyek, atau sebagai pendidik-terdidik yang sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi.[15] Di sini terlihat adanya posisi “guru yang murid” dan “murid yang guru”, karena keduanya saling berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan secara horisontal.
Guru menurut Freire adalah seorang guru yang berada dalam proses pendidikan yang demokratis, yaitu mempunyai kepercayaan kepada siswanya sebagai makhluk yang tidak hanya mampu mendiskusikan masalah, tetapi juga mampu mengatasi masalah.
Dengan demikian, Anak-anak didik adalah makhluk yang memiliki nasib dan masa depan pendidikan masing-masing sehingga peran seorang pendidik dalam pendidikan adalah mengarahkan mereka sesuai dengan potensi dan bakat yang dimilikinya. Dengan kata lain, anak didik adalah makhluk yang dilahirkan sebagai sosok-sosok dengan kebebasan dan kemerdekaan untuk mewujudkan eksistensi dirinya secara terbuka dan mandiri. Mereka mengaktualisasikan segala potensi dan bakatnya dengan mandiri dan terbuka pula.[16] Untuk dapat mengembangkan potensi-potensi anak didik, mereka memerlukan bimbingan dari orang yang lebih dewasa dalam pembelajarannya.
B.  Saran
Dari hasil kesimpulan di atas, perlu kiranya penulis dan pembaca memberikan saran konstruktif bagi dunia pendidikan, baik bagi pendidik maupun instansi yang menangani pendidikan.
Pertama, demi terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif, para pendidik harus mampu memahami psikologi peserta didik, dan latar belakang siswa sehingga tidak terjadi kontradiksi pahaman atau konflik karena perbedaan peserta didik yang satu dengan yang lain.
Kedua, Dalam proses pembelajaran pendidik harus memberi kesempatan seluas-luasnya terhadap peserta didik tanpa membeda-bedakan latar belakang sosial, ekonomi, suku, ataupun agama, semuanya memiliki hak yang sama.
Ketiga, perlunya sosialisasi terhadap para pendidik ataupun masyarakat luas bahwa keberagaman adalah suatu keniscayaan yang sudah ada sejak dahulu, dan yang penting adalah menghargai pandangan, keyakinan dan budaya orang lain.


DAFTAR PUSTAKA
Agung, Arief dan Fuad F. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan          Pembebasan. Yogyakarta: REaD, 2007.
Collins, Denis. Paulo Freire, Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya. Yogyakarta:Komunitas APIRU Yogyakarta, 2002.
Dhakiri, Hanif. Paulo Freire, Islam Pembebasan. Jakarta: Djembatan dan Pena, 2000.
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008.
---------, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan Yogyakarta: ReaD & Pustaka Pelajar, 2007.
Martin Sardy. Pendidikan Manusia. Bandung: Alumni, 1985.
Palmer, Joy A. 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern. Jogjakarta: Laksana, 2010.
Uhbiyati Nur, Ilmu Pendidikan Islam Bandung : CV. Pustaka Setiya,1998.
Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia, Belajar dari Paulo Freire dan Kihadjar D8ewantara. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.


[1] Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 8.
[2] Agung P, Fuad Arief F, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (Yogyakarta: REaD, 2007), h. xi
[3] Joy A. Palmer, 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern (Jogjakarta: Laksana, 2010), h.216.
[4] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung : CV. Pustaka Setiya,1998), H.65.
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Muh. Hanif. Dhakiri, Paulo Freire, Islam Pembebasan (Jakarta: Djembatan dan Pena, 2000), h. 54.
[8] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, h. 55.
[9] Ibid., h. 55.
[10] Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia, Belajar dari Paulo Freire dan Kihadjar Dewantara (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), h. 159.
[11] Martin Sardy. Pendidikan Manusia  (Bandung: ALUMNI, 1985), h. 138-139.
[12] Paulo Freire. Politik Pendidkan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (Yogyakarta: ReaD dan Pustaka Pelajar, 2002), h. 29-32.
[13] Denis Collins. Paulo Freire, Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya (Yogyakarta:Komunitas APIRU Yogyakarta, 2002), h. 22.
[14] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung : CV. Pustaka Setiya,1998), H.65.
[15] Muh. Hanif. Dhakiri, Paulo Freire, Islam Pembebasan (Jakarta: Djembatan dan Pena, 2000), h. 54.
[16] Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia, Belajar dari Paulo Freire dan Kihadjar Dewantara (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), h. 159.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar