A. Latar
Belakang
Memasuki abad
kesembilan belas, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah memasuki
dunia Islam, oleh karena itu dalam sejarah Islam dipandang sebagai fase
permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat mengakibatan terbawanya ide-ide baru ke dunia Islam
seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semuanya itu
menimbulkan dialektika pemikiran di tengah problematika baru, sehingga pemimpin
Islampun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru tersebut.
Sebagaimana halnya di
Barat, di dunia Islam juga timbul pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan
paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru. Dengan cara itu
pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan ummat islam dari
suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.[1]
Periode modern (1800
M-dan seterusnya) merupakan zaman pembaharuan Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan
Barat menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam
bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan
ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana
meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Pada periode inilah timbul
ide-ide pembaharuan dalam Islam.[2]
Salah satu tokoh modern yang melahirkan ide-ide pembaharuan dalam Islam ini adalah Jamaluddin Al-Afghani.
Jamaluddin Al-Afghani adalah
seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya
berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lain, serta pengaruhnya
terbesar ditinggalkannya di Mesir. Dia dikenal sebagai seorang pembaharu
politik di dunia Islam pada abad sembilan belas.[3]
Ia juga adalah perintis modernisme Islam, khususnya aktivisme anti imperialis.
Dia terkenal karena kehidupan dan pemikirannya yang luas, dan juga karena
menganjurkan dan mempertahankan sejak 1883, bahwa persatuan Islam merupakan
sarana untuk memperkuat dunia muslim menghadapi barat.[4]
Dia pula tokoh yang pertama kali menganjurkan untuk kembali pada tradisi muslim
dengan cara yang sesuai dengan berbagai problem, mengusik Timur Tengah di abad
sembilan belas. Dengan menolak tradisionalisme murni yang mempertahankan Islam
secara tidak kritis disatu pihak, dan peniruan membabi buta terhadap barat di
pihak lain. Afghani menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan
kualitas yang diperlukan di dunia modern, seperti penggunaan akal, aktivitas
politik, serta kekuatan militer dan politik.
Selain al-Afghani,
Muhammad Abduh juga tidak asing dikalangan pembaharu Islam di Timur Tengah.
Abduh termasuk pengagum al-Afghani, dikemudian hari Abduh meneruskan semangat
al-Afghani. Nama lain yang tidak kalah populer adalah Muhammad Rasyid Ridha dan
Hasan Albana.
Makalah ini akan
menyajikan bagaimana kelahiran. Dimana pada abad ini dikenal dengan masa dimana
Islam ditinjau ulang dari berbagai aspek, baik aspek substantif nilai Islam,
politik, kenegaraan, dan militer.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Ciri Khas Pembaharuan
Pemikiran Islam?
2. Bagaimana Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspek Sehingga Memberikan Semangat atas Kemerdekaan
Negara-negara Islam?
C. Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui Ciri Khas pembaharuan
pemikiran Islam
2. Mengetahui Akar
Permasalahan, Problematika Masyarakat Islam dan tawaran Gagasan sehingga Islam Menjadi
Segar Kembali.
A. Ciri
Khas Pembaharuan Pemikiran Islam
Implikasi dominasi
ekonomi dan kolonial Eropa terus berlangsung sampai masa sekarang ini.
Pemerintah kolonial merusak keseimbangan institusi, membentuk sistim masyarakat
Muslim dan menimbulkan kemunduran kekuatan politik masyarakat Muslim. Imperium
Usmani kehilangan kekuasaan atas wilayah Balkan.[5]
Pertengahan abad 19,
elit politik berusaha mengorganisir kekuataan militer, memusatkan dan
merasionalisasi administrasi birokratik, dan memprakasai kegiatan ekonomi yang
diharapkan meningkatkan penghasilan negara. Elit politik juga menyadari
kebutuhan untuk mendirikan sekolah-sekolah baru untuk mengembangkan pendidikan
bagi pegawai pemerintahan yang modern dan profesional.
Pembentukan elite
intelegensia baru tersebut merupakan akibat langsung dari program pembaharuan
negara, betapapun latarbelakang pembentukanya berbeda-beda. Dalam kasus Usmani,
generasi baru dokter, insinyur, tentara dan pejabat angkatan laut, dan
administrator yang berpendidikan Barat merupakan produk-produk sekolahan
profesional modern dan produk dari pendidikan Eropa.[6]
Di Mesir, dan
dibeberapa negri yang bertanah subur, pembentukan elite intelegensia baru
berlangsung dalam cara yang berbeda. Program pembaharuan di Mesir berlangsung
dalam bentuk yang sama sekali berbada. Negara dimaksudkan untuk menguasai
perekonomian warga Mesir.
Beberapa wilayah di
Arab yang subur, pengaruh politik dan penetrasi ekonomi eropa tidak menimbulkan
perubahan struktural dan politik. Akan tetapi, pengaruh pendidikan dan
kepustakaan membangkitkan kelahiran nasionalisme kesastraan Arab. Dalam seluruh
kasus yang tersebut, ulama’ dan pedagang hanya menjalankan peran sekunder.
Peran mereka tergeser oleh kalangan intelegensia berpendidikan barat.
Pada beberapa generasi
berikutnya, elit politik dan intelegensia mengambil konsep modernis Islam,
nasionalis sekuler, dan bahkan konsep sosialis bagi transformasi nasional.
Moderenis Islam merupakan doktrin elite politik muslim dan intelegensia Muslim
yang perlu dibedakan dari reformisme Islam yang merupakan doktrin Ulama’.[7]
Bentuk-bentuk peradaban
Islam masa pertengahan harus disingkirkan. Akan tetapi, Islam semata-mata tidak
dapat dilepaskan. Islam seharusnya direkonstruksi berdasarkan ajaranya yang
inhern, yakni prinsip-prinsip rasionalitas, aktivisme etis, dan patriotisme.
Sudut pandang
modernisme tersebut pertama kali disokong oleh Turki Muda. Sejalan dengan
komitmen terhadap prinsip-prinsip Islam. Jamaluddin al-Afghani menyerukan
kesatuan Internasional masyarakat Muslim untuk mendukung modernisasi Islam dan
kesatuan politik dalam menghadapi penindasan pihak kolonial.[8]
Modernisme Islam
selanjutnya, merupakan Ideologi elite yang prihatin terhadap pemulihan
kekuasaan negara dan mereka berusaha memulihkan basis kekuatan kultural dan
sosial negri Muslim.
Secara umum, perlawanan
ulama’ dinyatakan dengan term-term rformis. Reformisme Islam berakar pada
perkembangan abad ketujuhbelas dan delapanbelas dan gagasan tersebut mendahului
penjajahan Eropa.
Sudah barang tentu,
reformisme dapat diperpadukan dengan modernisme Muslim. Seorang ulama’ Mesir,
Muhammad Abduh, memadukan prinsip-prinsip reformis, yakni prinsip kemabali
kepada al-Qur’an dan Hadist, hak untuk berijtihad dalam menyelesaikan
permasalahan agama, meninggalkan sikap penyesuaian dengan tradisi lampau yang
membelenggu, dan prinsip perlawanan terhadap praktik pemujaan sufi dengan sikap
responsif kalangan modernis terhadap tekanan politik dan kultural Eropa. Dalam
hal ini terjadilah percampuran antara pemikiran reformis dan pemikiran modernis
yang mengilhami gerakan salafiyah di Mesir, Timur Tengah Arab dan Afrika Utara.[9]
Reformisme merupakan
respon politik dan moral ulama’, masyarakat kesukuan dan perkotaan terhadap
reformasi struktur masyarakat muslim tradisional dan merupakan respon mereka
terhadap ancaman dominasi politik, ekonomi, dan kultur Eropa.
B.
Gagasan Pembaharuan Pemikiran Timur
Tengah
1.
Thahtawi
Thahtawi menekankan
gagasanya pada pemahaman tentang pendidikan modern. Ulama’ dalam hal ini harus
memiliki pemahamna tentang pendidikan modern dan semua warga negara harus
mendapatkan pendidikan politik. Secara tidak langsung thahtawi menyatakan bahwa
keadaan masyarakat dan fungsi pemerintahan berbeda dengan apa yang telah
terjadi dimasa silam.
Dalam manahij, thahtawi mengawali asumsinya
bahwa masyarakat memiliki dua tujuan: melaksanakan kehendak tuhan dan mencapai
kebahagiaan dunia. Kebahagiaan yang dimaksudkan thahtawi, memiliki dua landasan
yang harus terpenuhi. Pertama, pelatihan karakter dalam kebajikan religius dan
kebajikan manusia. Kedua, aktivitas ekonomi yang menghasilkan kekayaan dan
perbaikan kondisi serta kepuasan masyarakat secara keseluruhan.[10]
Karakteristik pemikiran
thahtawi adalah pendirianya yang menekankan pada kejayaan nasional. Kejayaan
nasional yang dimaksudkan thahtawi adalah berawal dari produk kebajikan dari
kebijakan. Ketika kebajikan sosial telah kuat, maka rakyat akan makmur. Dalam
rangka mencapai kebajikan tersebut, pendidikan adalah kuncinya.
Tujuan pendidikan
haruslah membentuk kepribadian, bukan hanya untuk memberikan seperangkat
pengetahuan. Pendidikan harus menanamkan pentingnya kesehatan jasmani, keluarga
dan kewajibanya, persahabatan, dan diatas semua itu adalah menanamkan
patriotisme (hubb al-Wathan), cinta
tanah air adalah motif utama yang membuat manusia berusaha membangun masyarakat
yang beradab.[11]
Kewajiban warga negara
terhadap negara mereka adalah persatuan, kepatuhan pada hukum dan pengorbanan.
Demikian pula hak mereka, yang dapat menciptakan komunitas yang sejati dan
patriotisme yang kuat.
2.
Jamaluddin
al-Afghani
Al-Afghani berpendapat
bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat telah
meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qada dan qadar telah
berubah menjadi ajaran fatalisme yang enjadikan umat menjadi statis.
Sebab-sebab lain lagi adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri,
lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain.
Untuk mengatasi semua
hal itu antara lain menurut pendapatnya ialah umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang benar,
mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat,
pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat Islam
hars diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai dengan tuntutan zaman.
Ia juga
menganjurkan umat Islam untuk
mengembangkan pendidikan secara umum, yang tujuan akhirnya untuk memperkuat
dunia Islam secara politis dalam menghadapi dominasi dunia barat. Ia
berpendapat tidak ada sesuatu dalam ajaran Islam yang tidak sesuai dengan
akal/ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain Islam tidak bertentangan dengan
ilmu pengetahuan.[12]
Selanjutnya bagaimana ide-ide pembaharuan dan pemikiran politik Al-Afghani
tentangnegara dan sistem pemerintahan akan diuraikan berikut ini :
a.
Bentuk
negara dan pemerintahan
Menurut Al-Afghani,
Islam menhendaki bahwa bentuk pemerintahan adalah republik. Sebab, di dalamnya
terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada
Undang-Undang Dasar.[13]
Pendapat seperti ini baru dalam sejarah politik Islam yang selama ini
pemikirnya hanya mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot.
Pendapat ini tampak dipengaruhi oleh
pemikiran barat, sebab barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik,
meskipun pemahaman Al-Afghani tidak
lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan
kemasyarakatan dan kenegaraan. Penafsiran atau pendapat ersebut lebih maju dari
Abduh yaitu Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan , maka bentuk
demikianpun harus mengikuti masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan
berpikir. Ini mengandung makna, bahwa apapun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki
suatu pemerintahan yang dinamis.
Pemunculan ide
Al-Afghani tersebut sebagai reaksi
kepada salah satu sebab kemunduran
politis yaitu pemerintah absulot.[14]
b.
Sistem
Demokrasi
Dalam pemerintahan yang
absulot dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat, kebebasan hanya ada pada
raja/kepala gegara untuk bertindak yan tidak diatur oleh Undang-undang. Karena
itu Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absulot diganti dengan
dengan corak pemerintahan demokrasi.[15]
Pemerintahan demokratis
merupakan salah satu identitas yang paling khas dari dari pemerintahan yang
berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan republik sebagaimana
berkembang di barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai
ganti pemerintahan khalifah. Dalam pemerintahan negara yang demokratis, kepala
negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman
karena pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura
diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktekkan dalam berbagai
urusan.[16]
Selanjutnya ia
berpendapat pemerintahan otokrasi yang cenderung meniadakan hak-hak individu
tidak sesuai dengan ajaran Islamyang sangat menghargai hak-hak individu. Maka
pemerintahan otokrasi harus diganti dengan pemerintahan yang bercorak demokrasi
yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Menurut Al-Afghani, pemerintahan yang
demokrasi menghendaki adanya majelis perwakilan rakyat. Lembaga ini bertugas
memberikan usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu kebijakan
negara. Urgensi lembaga ini untuk menghindari agar tidak muncul pemerintahan
yang absulot. Ide atau usul para wakil rakyat yan berpengalaman merupakan
sumbangan yang berharga bagi pemerintah. Karena itu para wakil rakyat harus
yang berpengetahuan dan berwawasan luas serta bermoral baik. Wakil-wakil rakyat
yang demikian membawa dampak positif terhadap pemerintah sehingga akan
melahirkan undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat.[17]
Selanjutnya, para
pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling taat kepada undang-undang.
Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan suku, ras, kekuatan material
dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh melalui pemilihan dan
disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang terpilih memiliki dasar
hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu.[18]
Pendapat di atas
mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan
menurut Al-Afghani adalah rakyat, karena dalam pemerintahan republik,
kekuasaan atau kedaulatan rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang
anggotanya dipilih oleh rakyat.
c.
Pan
Islamisme
Al-Afghani menginginkan
adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih jajahan.
Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki
terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam masalah keagamaan,
kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa
tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka
berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas serta
mewujudkan kesejahteraan umat Islam.[19]
Kesatuan benar-benar
menjadi tema pokok pada tulisan Al-Afghani. Ia menginginkan agar umat Islam
harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte
tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan kaum muslimin harus mengambil
pelajaran dari contoh Jerman, yang kehilangan kesatuan nasionalnya karena terlalu
memandang penting perbedaan agama. Bahkan perbedaan besar dalam doktrin wilayah
teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat dijembatani sehingga ia menyerukan kepada bangsa Persia dan Afghan supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah
syi’ah dan yang kedua adalah bukan, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia
melontarkan ide rekonsiliasi umum dari kedua sekte tersebut.
Meskipun semua ide
Al-Afghani bertujuan untuk mempersatukan
umat Islam guna menanggulangi penetrasi barat dan kekuasaan Turki Usmani yang
dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islamnya itu tidak jelas.
Apakah bentuk-bentuk kerjasama tersebut dalam rangka mempersatukan umat Islam
dalam bentuk asosiasi, atau bentuk federasi yang dipimpin oleh seseorang atau badan yang mengkoordinasi
kerjasama tersebut, dan atau seperti negara persemakmuran di bawah negara
Inggris. Sebab ia mengetahui adanya
kepala negara di setiap negara Islam.
Tapi, menurut Munawwir Sjadzali, Pan-Islamismenya Al-Afghani itu adalah suatu asosiasi antar
negara-negara Islam dan umat Islam di wilayah jajahan untuk menentang kezaliman
interen, para pengusaha muslim yang lalim, menentang kolonialisme dan
imperialisme barat serta mewujudkan keadilan.[20]
Al-Afghani menekankan
solidaritas sesama muslim karena ikatan agama, bukan ikatan teknik atau rasial.
Seorang penguasa muslim entah dari bangsa mana datangnya, walau pada mulanya
kecil, akan berkembang dan diterima oleh suku dan bangsa lain seagama selagi ia
masih menegakkan hukum agama. Penguasa itu hendaknya dipilih dari orang-orang
yang paling taat dalam agamanya, bukan karena pewarisan, kehebatan sukunya atau
kekayaan materialnya, dan disepakati oleh anggota masyarakatnya.[21]
Inilah ide pemikir
orisinil yang merupakan solidaritas umat yang dikenal dengan Pan-Islamisme atau
Al-Jamiah al Islamiyah (Persaudaraan sesama umat Islam sedunia.
3.
Muhammad
Abduh
Perhatian utama Abduh
adalah problem kemunduran umat umat islam, dan banyaknya dorongan untuk
mengubah kemunduran ini dengan berupaya meniru barat. Menurut Abduh kaum muslim
berada pada derajat yang rendah karna kaum muslim telah meninggalkan Islam
sejati.[22]
Kemunduran tersebut,
didasari pemahaman tentang pandangan bahwa segala sesuatu telah di tentukan
oleh Tuhan. Hal ini menyebabkan kurangnya inisiatif kaum muslim unntuk
membangun peradaban dan berkompetisi membangun dunia yang lebih menjanjikan
Abduh berusaha
menyanggah kritik bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah ketidak mampuanya
menyesuaikan dengan peradaban Modern. Hal ini di dasari dengan fenomena
banyaknya poligami dan perceraian yang terjadi di masyarakat Muslim.
Abduh menyadari bahwa
tugas terbesarnya adalah menyadarkan kaum Muslim akan kondisi mereka, menantang
mereka untuk bangkit membuat perubahan, membuat mereka percaya bahwa kemunduran
ini tidak selamanya disebabkan ketidak mampuan yang bersifat individu maupun
menghadapi tantangan dunia Modern.[23]
Persoalan tantang
modernitas bukan terletak pada apakah mungkin menjadi muslim sambil menerima
modernitas. Akan tetapi relevankah Islam dengan Modern. Sesungguhnya tidak ada
konflik antara Islam dengan Modernitas, Islam sesungguhnya adalah agama yang
rasional. Islam harus meluruskan peradaban Modern, sehingga Islam akan menjadi
gigih dengan sumber kekuatanya.
Tujuan Abduh adalah
untuk menunjukkan bahwa Islam mengandung pada dirinya kualitas agama rasional, ilmu
pengetahuan sosial dan aturan moral sebagai landasan kehidupan modern.[24]
4.
Muhammad
Rasyid Ridha
Secara umum, pandangan Islam
yang dipegang Rasyid Ridha adalah seperti yang disebarluaskan oleh al-Afghani
dan Abduh. Pandangan ini bermula dari “mengapa negri-negri Muslim ketinggalan
dalam semua aspek peradaban”. Jawabanya diletakkan pada rangkaian yang esensial
yaitu kebenaran religius dan kemakmuran duniawi.
Ajaran dan perintah
Islam serba mencangkup dan saling berkaitan. Jika pemahaman tentang Islam
selaran dengan apa yang diajarkanya, maka kesuksesan dunia dan kesuksesan
akhirat akan tercapai. Seperti halnya kekuatan, harga diri, peradaban dan
kebahagiaan. Begitupun sebaliknnya, jika ajaran Islam tidak dipatuhi,
kelemahan, keruntuhan, dan barbarianisme adalah hasilnya. Hal tersebut berlaku
baik bersifat Individu amaupun komunitas.[25]
Kemudian Ridha melanjutkan
pada prinsip-prinsip yang harus terpenuhi dalam ajaran Islam. Prinsip tersebut
adalah aktivitas umat dalam usaha yang positif. Usaha tersebut erat kaitanya
dengan hakikat Islam, dan inilah yang disebutkan oleh Ridha dengan Jihad dalam
pengertian yang luas.
Orang-orang eropa
memiliki dinamisme yang lebih dari siapapun sehingga mereka mampu menaklukkan
dunia. Mereka bersedia mengorbankan harta dan nyawa mereka untuk bangsa. Mereka
memiliki loyalitas yang tidak satupun dari mereka menghianatinya. Sedangkan
orang muslim mendapatkan loyalitas semacam itu dalam Agamanya yang mencakup
kedalaman spiritual dan kesuksesan dunia.
Semua umat bersatu di
bawah satu keyakinan, satu sistem moral dan satu sistem pendidikan dan tunduk
pada satu sistem hukum. Hukum dan undang-undang tidak dapat dijalankan tanpa
kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, untuk kesatuan umat perlu mengambil
bentuk negara.
Negara yang dianjurkan
Rasyid Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan. Sebab Rasyid Ridha
memiliki program pelaksanaan yaitu menghidupkan kembali sistem kekhalifahan di
dalam zaman modern., karena bentuk pemerintahan seperti ini akan membawa
kesatuan umat Islam.[26]
Kepala negara ialah
khalifah. Karena khalifah memiliki kekuasaan legislatif dan harus mempunyai
sifat mujtahid. Akan tetapi dalam pada itu khalifah tidak boleh bersifat
absolut. Sedangkan para ulama merupakan pembantu-pembantunya yang utama dalam
soal memerintah umat.
Untuk mewujudkan
kesatuan umat itu ia pada mulanya meletakkan harapan pada kerajaan Usmani,
tetapi harapan itu hilang setelah Mustafa Kamal berkuasa di Istambul dan
kemudian menghapus sistem pemerintahan khalifah dan berubah menjadi Republik.[27]
Menurut Rasyid Ridha
calon khalifah tidak hanya terdiri dari ulama atau ahli agama yang sudah
mencapai tingkat mujtahid, tetapi juga dari pemuka-pemuka masyarakat dari
berbagai bidang termasuk bidang perdagangan, perindustrian dan sebagainya.
Syarat bagi calon khalifah yaitu harus berilmu dan mampu berijtihad.
Syarat untuk dapat
menduduki jabatan khalifah adalah berilmu dalam arti menguasai pengetahuan
agama dan bahasa Arab, sehingga mampu memahami secara tepat maksud-maksud
Alquran dan sunnah Nabi dan teladan-teladan yang diwariskan oleh para pendahulu
(salaf) yang saleh, dan yang sudah mencapai tingkat mampu berijtihad secara
betul. Untuk mempersiapkan calon-calon khalifah yang memenuhi syarat-syarat
tersebut, Rasyid Ridha mengusulkan pendirian suatu lembaga pendidikan tinggi
keagamaan untuk mendidik dan mencetak calon-calon khalifah.
Dalam lembaga
pendidikan ini, diajarkan berbagai cabang ilmu agama Islam, sejarah, ilmu
kemasyarakatan dan ajaran-ajaran agama lainnya. Kemudian khalifah dipilih dari
antara para lulusan dan lembaga tersebut yaitu mereka yang telah memperlihatkan
keunggulan dalam penguasaan ilmu dan kemampuan berijtihad.
Pemilihan itu dilakukan
dengan bebas dan oleh rekan-rekan sesama lulusan lembaga itu, untuk kemudian
dikukuhkan melalui baiat oleh Ahl-al-Halli wa al-Aqdi (orang yang berhak
memilih Khalifah/para ahli ilmu khususnya keagamaan dan mengerti permasalahan
umat) dari seluruh dunia Islam. Taat kepada khalifah yang dipilih dan kemudian
dibaiat dengan cara demikian itu hukumnya wajib bagi tiap Muslim.[28]
Untuk melaksanakan
“proyek” menghidupkan kembali lembaga kekhalifahan itu Rasyid Ridha mengusulkan
diselenggarakannya suatu muktamar raya Islam di Kairo, Mesir, yang dihadiri
oleh wakil-wakil dari semua negara Islam dan seluruh umat Islam. Dengan
menambahkan bahwa Mesir adalah satu-satunya negara yang layak menjadi
penyelenggara pertemuan akbar Islam seperti itu, tanpa memberikan uraian lebih
lanjut tentang alasannya. Muktamar tersebut berlangsung pada tahun 1926 M,
tetapi muktamar tersebut berakhir dengan kegagalan. Karena banyak dan kuatnya
pertentangan di antara para peserta muktamar dan akhirnya tidak dapat tercapai
kesepakatan.[29]
Tentang Nasionalisme
yang sedang menggejala pada masa itu, Rasyid Ridha berpendapat bahwa faham
Nasionalisme itu bertentangan dengan persaudaraan Islam. Maka ia tidak setuju
dengan faham Nasionalisme yang dibawa oleh Mustafa Kemal di Mesir maupun Turki
Muda di Turki. Menurutnya persaudaraan Islam tidak mengenal batas baik ras,
bangsa, bahasa dan tanah air.[30]
Munculnya gagasan
nasionalisme cinta tanah air, patriotsme, dan dibarengi dengan partai-partai
politik merupakan modal utama umat islam dalam perjuanganya untuk mewujudkan
negara merdeka.
Tahun 1922, Timur
Tengah (Mesir) memperoleh kemerdekaan dari Inggris, namun pada tanggal 23 Juli
1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka. Pada tahun 1951 di Afrika,
tepatnya Lybia merdeka, Sudan dan Maroko tahun 1956, Al-Jazair tahun 1962.
Semua membebaskan diri dari Prancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman
Utara, Yaman Selatan, dan Emirate Arab memperoleh kemerdekaanya.
Demikianlah, satu
persatu Negri-negeri islam memerdekakan diri dari penjajahan. Bahkan, beberapa
diantaranya baru mendapatkan kemerdekaan pata tahun-tahun terakhir, Kirghistan,
Kazakhtan, Tasjikistan, dan Azerbaijan pada tahun 1992.[31]
Kesimpulan
\
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Ketika
mesir jatuh ditanagan kolonial, umat Muslim sadar bahwa mereka telah kalah jauh
dari peradaban barat. Kesadaran akan ketertinggalan tersebut diperparah dengan
minimnya nilai-nilai Islam yang diletakkan pada berbagai aspek kehidupan. Baik
dalam ruang lingkup peribadatan, kenegaraan, ilmu pengetahuan maupun kesatuan
umat islam.
2.
Sadar
akan ketertinggalan dari barat, Islam mengusung semangat reformasi dan
modernisasi yang berkarakter Islam. Kesadaran akan cinta tanah air, kesatuan
umat, patriotisme, nasionalisme menjadi semangat yang diusung oleh pembaharu
pemikiran Islam seperti: Thahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh,
Muhammad Rasyid Ridha.
3.
Tahun
1922, Timur Tengah (Mesir) memperoleh kemerdekaan dari Inggris, namun pada
tanggal 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka. Pada tahun
1951 di Afrika, tepatnya Lybia merdeka, Sudan dan Maroko tahun 1956, Al-Jazair
tahun 1962. Semua membebaskan diri dari Prancis. Dalam waktu yang hampir
bersamaan, Yaman Utara, Yaman Selatan, dan Emirate Arab memperoleh
kemerdekaanya.
Daftar Pustaka
Hasan,
Ilyas. Para Perintis Zaman Baru Islam,
Bandung: Mizan, 1996.
Hourani,
Albert, Pemikiran Liberal di Dunia Arab,
Bandung: Mizan, 2004
John
J. Dnohu dan John L. Esposito, Islam dan
Pembaharuan, Eksiklopedi Masalah-Masalah (Terjemahan Machnun Husein), Jakarta
: Rajawali, 1984.
Lapidus,
Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam “Bagian
Ketiga”, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000
Mufrodi,
Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,
Jakarta : Logos, 1997.
Nasution,
Harun. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah
Pemikiran dan Gerakan Jakarta : Bulan Bintang, 1975.
Pulungan,
J. Suyuthi. Fiqh Siyasah : Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Grafindo Persada, 1994.
Rahmena,
Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung
: Mizan, 1995.
Sjadzali,
Munawir. Islam dan Tata Negara, “Ajaran, Sejarah dan Pemikiran”. Jakarta: UI
press, 1993.
[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran
dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975, cet. ke-1, h. 10.
[2] Ibid, h. 13
[3] Ibid, h. 11
[4] Ali Rahmena (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung
: Mizan, 1995), h. 17
[5] Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam “Bagian Ketiga”,
(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 200). h. 11
[6] Ibid., h. 14
[7] Ibid., h. 17
[8] Ibid., h. 17
[9] Ibid., h. 27
[10] Hourani, Albert, Pemikiran Liberal di Dunia Arab,
(Bandung: Mizan, 2004), h. 124
[11] Ibid., h. 127
[12] Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,
(Jakarta : Logos, 1997), h. 155.
[13] Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta : Grafindo Persada, 1994), h. 280
[14] Ibid, h. 282-283
[15] Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam... h. 54
[16] Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah... h.285
[17] Ibid., h. 287
[18] John J. Dnohu dan John L.
Esposito, Islam dan Pembaharuan,
Eksiklopedi Masalah-Masalah (Terjemahan Machnun Husein), (Jakarta :
Rajawali, 1984) h. 25
[19] Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah... h.294
[20] Ibid., 294
[21] Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan... h. 159
[22] Hasan, Ilyas, Para Perintis Zaman Baru Islam,
(Bandung: Mizan, 1996), h. 50
[23] Ibid., 51
[24] Hourani, Albert, Pemikiran Liberal... h. 225
[25] Ibid,. H. 365
[26] Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam... h. 74-75
[27] Ibid., h. 74-75
[28] Sjadzali, Munawir. Islam dan
Tata Negara, “Ajaran, Sejarah dan Pemikiran”. (Jakarta: UI press, 1993). H. 134
[29] Ibid., 136
[30] Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab... h. 168
[31] Yatim, badri. Sejarah peradaban
Islam. (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 187-189
Tidak ada komentar:
Posting Komentar