Kamis, 11 Februari 2016

Makalah Sejarah Peradaban Islam



A.      Latar Belakang

Memasuki abad kesembilan belas, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah memasuki dunia Islam, oleh karena itu dalam sejarah Islam dipandang sebagai fase permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat mengakibatan  terbawanya ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semuanya itu menimbulkan dialektika pemikiran di tengah problematika baru, sehingga pemimpin Islampun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru tersebut.
Sebagaimana halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru. Dengan cara itu pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan ummat islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.[1]
Periode modern (1800 M-dan seterusnya) merupakan zaman pembaharuan Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Pada periode inilah timbul ide-ide pembaharuan dalam Islam.[2] Salah satu tokoh modern yang melahirkan ide-ide pembaharuan  dalam Islam ini adalah Jamaluddin Al-Afghani.
Jamaluddin Al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lain, serta pengaruhnya terbesar ditinggalkannya di Mesir. Dia dikenal sebagai seorang pembaharu politik di dunia Islam pada abad sembilan belas.[3] Ia juga adalah perintis modernisme Islam, khususnya aktivisme anti imperialis. Dia terkenal karena kehidupan dan pemikirannya yang luas, dan juga karena menganjurkan dan mempertahankan sejak 1883, bahwa persatuan Islam merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim menghadapi barat.[4] Dia pula tokoh yang pertama kali menganjurkan untuk kembali pada tradisi muslim dengan cara yang sesuai dengan berbagai problem, mengusik Timur Tengah di abad sembilan belas. Dengan menolak tradisionalisme murni yang mempertahankan Islam secara tidak kritis disatu pihak, dan peniruan membabi buta terhadap barat di pihak lain. Afghani menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan kualitas yang diperlukan di dunia modern, seperti penggunaan akal, aktivitas politik, serta kekuatan militer dan politik.
Selain al-Afghani, Muhammad Abduh juga tidak asing dikalangan pembaharu Islam di Timur Tengah. Abduh termasuk pengagum al-Afghani, dikemudian hari Abduh meneruskan semangat al-Afghani. Nama lain yang tidak kalah populer adalah Muhammad Rasyid Ridha dan Hasan Albana.
Makalah ini akan menyajikan bagaimana kelahiran. Dimana pada abad ini dikenal dengan masa dimana Islam ditinjau ulang dari berbagai aspek, baik aspek substantif nilai Islam, politik, kenegaraan, dan militer.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Ciri Khas Pembaharuan Pemikiran Islam?
2.      Bagaimana Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek Sehingga Memberikan Semangat atas Kemerdekaan Negara-negara Islam?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Ciri Khas pembaharuan pemikiran Islam
2.      Mengetahui Akar Permasalahan, Problematika Masyarakat Islam dan tawaran Gagasan sehingga Islam Menjadi Segar Kembali.


A.      Ciri Khas Pembaharuan Pemikiran Islam

Implikasi dominasi ekonomi dan kolonial Eropa terus berlangsung sampai masa sekarang ini. Pemerintah kolonial merusak keseimbangan institusi, membentuk sistim masyarakat Muslim dan menimbulkan kemunduran kekuatan politik masyarakat Muslim. Imperium Usmani kehilangan kekuasaan atas wilayah Balkan.[5]
Pertengahan abad 19, elit politik berusaha mengorganisir kekuataan militer, memusatkan dan merasionalisasi administrasi birokratik, dan memprakasai kegiatan ekonomi yang diharapkan meningkatkan penghasilan negara. Elit politik juga menyadari kebutuhan untuk mendirikan sekolah-sekolah baru untuk mengembangkan pendidikan bagi pegawai pemerintahan yang modern dan profesional.
Pembentukan elite intelegensia baru tersebut merupakan akibat langsung dari program pembaharuan negara, betapapun latarbelakang pembentukanya berbeda-beda. Dalam kasus Usmani, generasi baru dokter, insinyur, tentara dan pejabat angkatan laut, dan administrator yang berpendidikan Barat merupakan produk-produk sekolahan profesional modern dan produk dari pendidikan Eropa.[6]
Di Mesir, dan dibeberapa negri yang bertanah subur, pembentukan elite intelegensia baru berlangsung dalam cara yang berbeda. Program pembaharuan di Mesir berlangsung dalam bentuk yang sama sekali berbada. Negara dimaksudkan untuk menguasai perekonomian warga Mesir.
Beberapa wilayah di Arab yang subur, pengaruh politik dan penetrasi ekonomi eropa tidak menimbulkan perubahan struktural dan politik. Akan tetapi, pengaruh pendidikan dan kepustakaan membangkitkan kelahiran nasionalisme kesastraan Arab. Dalam seluruh kasus yang tersebut, ulama’ dan pedagang hanya menjalankan peran sekunder. Peran mereka tergeser oleh kalangan intelegensia berpendidikan barat.
Pada beberapa generasi berikutnya, elit politik dan intelegensia mengambil konsep modernis Islam, nasionalis sekuler, dan bahkan konsep sosialis bagi transformasi nasional. Moderenis Islam merupakan doktrin elite politik muslim dan intelegensia Muslim yang perlu dibedakan dari reformisme Islam yang merupakan doktrin Ulama’.[7]
Bentuk-bentuk peradaban Islam masa pertengahan harus disingkirkan. Akan tetapi, Islam semata-mata tidak dapat dilepaskan. Islam seharusnya direkonstruksi berdasarkan ajaranya yang inhern, yakni prinsip-prinsip rasionalitas, aktivisme etis, dan patriotisme.
Sudut pandang modernisme tersebut pertama kali disokong oleh Turki Muda. Sejalan dengan komitmen terhadap prinsip-prinsip Islam. Jamaluddin al-Afghani menyerukan kesatuan Internasional masyarakat Muslim untuk mendukung modernisasi Islam dan kesatuan politik dalam menghadapi penindasan pihak kolonial.[8]
Modernisme Islam selanjutnya, merupakan Ideologi elite yang prihatin terhadap pemulihan kekuasaan negara dan mereka berusaha memulihkan basis kekuatan kultural dan sosial negri Muslim.
Secara umum, perlawanan ulama’ dinyatakan dengan term-term rformis. Reformisme Islam berakar pada perkembangan abad ketujuhbelas dan delapanbelas dan gagasan tersebut mendahului penjajahan Eropa.
Sudah barang tentu, reformisme dapat diperpadukan dengan modernisme Muslim. Seorang ulama’ Mesir, Muhammad Abduh, memadukan prinsip-prinsip reformis, yakni prinsip kemabali kepada al-Qur’an dan Hadist, hak untuk berijtihad dalam menyelesaikan permasalahan agama, meninggalkan sikap penyesuaian dengan tradisi lampau yang membelenggu, dan prinsip perlawanan terhadap praktik pemujaan sufi dengan sikap responsif kalangan modernis terhadap tekanan politik dan kultural Eropa. Dalam hal ini terjadilah percampuran antara pemikiran reformis dan pemikiran modernis yang mengilhami gerakan salafiyah di Mesir, Timur Tengah Arab dan Afrika Utara.[9]
Reformisme merupakan respon politik dan moral ulama’, masyarakat kesukuan dan perkotaan terhadap reformasi struktur masyarakat muslim tradisional dan merupakan respon mereka terhadap ancaman dominasi politik, ekonomi, dan kultur Eropa.

B.       Gagasan Pembaharuan Pemikiran Timur Tengah
1.    Thahtawi
Thahtawi menekankan gagasanya pada pemahaman tentang pendidikan modern. Ulama’ dalam hal ini harus memiliki pemahamna tentang pendidikan modern dan semua warga negara harus mendapatkan pendidikan politik. Secara tidak langsung thahtawi menyatakan bahwa keadaan masyarakat dan fungsi pemerintahan berbeda dengan apa yang telah terjadi dimasa silam.
Dalam manahij, thahtawi mengawali asumsinya bahwa masyarakat memiliki dua tujuan: melaksanakan kehendak tuhan dan mencapai kebahagiaan dunia. Kebahagiaan yang dimaksudkan thahtawi, memiliki dua landasan yang harus terpenuhi. Pertama, pelatihan karakter dalam kebajikan religius dan kebajikan manusia. Kedua, aktivitas ekonomi yang menghasilkan kekayaan dan perbaikan kondisi serta kepuasan masyarakat secara keseluruhan.[10]
Karakteristik pemikiran thahtawi adalah pendirianya yang menekankan pada kejayaan nasional. Kejayaan nasional yang dimaksudkan thahtawi adalah berawal dari produk kebajikan dari kebijakan. Ketika kebajikan sosial telah kuat, maka rakyat akan makmur. Dalam rangka mencapai kebajikan tersebut, pendidikan adalah kuncinya.
Tujuan pendidikan haruslah membentuk kepribadian, bukan hanya untuk memberikan seperangkat pengetahuan. Pendidikan harus menanamkan pentingnya kesehatan jasmani, keluarga dan kewajibanya, persahabatan, dan diatas semua itu adalah menanamkan patriotisme (hubb al-Wathan), cinta tanah air adalah motif utama yang membuat manusia berusaha membangun masyarakat yang beradab.[11]
Kewajiban warga negara terhadap negara mereka adalah persatuan, kepatuhan pada hukum dan pengorbanan. Demikian pula hak mereka, yang dapat menciptakan komunitas yang sejati dan patriotisme yang kuat.

2.      Jamaluddin al-Afghani
Al-Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qada dan qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang enjadikan umat menjadi statis. Sebab-sebab lain lagi adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain.
Untuk mengatasi semua hal itu antara lain menurut pendapatnya ialah umat Islam harus  kembali kepada ajaran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat Islam hars diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai dengan tuntutan zaman.
Ia juga menganjurkan  umat Islam untuk mengembangkan pendidikan secara umum, yang tujuan akhirnya untuk memperkuat dunia Islam secara politis dalam menghadapi dominasi dunia barat. Ia berpendapat tidak ada sesuatu dalam ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akal/ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.[12] Selanjutnya bagaimana ide-ide pembaharuan dan pemikiran politik Al-Afghani tentangnegara dan sistem pemerintahan akan diuraikan berikut ini :

a.     Bentuk negara dan pemerintahan
Menurut Al-Afghani, Islam menhendaki bahwa bentuk pemerintahan adalah republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar.[13] Pendapat seperti ini baru dalam sejarah politik Islam yang selama ini pemikirnya hanya mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot. Pendapat ini tampak dipengaruhi  oleh pemikiran barat, sebab barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun  pemahaman Al-Afghani tidak lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Penafsiran atau pendapat ersebut lebih maju dari Abduh yaitu Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan , maka bentuk demikianpun harus mengikuti masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, bahwa apapun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis.
Pemunculan ide Al-Afghani tersebut sebagai reaksi  kepada salah satu sebab kemunduran  politis yaitu pemerintah absulot.[14]

b.    Sistem Demokrasi
Dalam pemerintahan yang absulot dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat, kebebasan hanya ada pada raja/kepala gegara  untuk bertindak  yan tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokrasi.[15]
Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas yang paling khas dari dari pemerintahan yang berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan republik sebagaimana berkembang di barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti pemerintahan khalifah. Dalam pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman karena pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktekkan dalam berbagai urusan.[16]
Selanjutnya ia berpendapat pemerintahan otokrasi yang cenderung meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islamyang sangat menghargai hak-hak individu. Maka pemerintahan otokrasi harus diganti dengan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Menurut Al-Afghani, pemerintahan yang demokrasi menghendaki adanya majelis perwakilan rakyat. Lembaga ini bertugas memberikan usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu kebijakan negara. Urgensi lembaga ini untuk menghindari agar tidak muncul pemerintahan yang absulot. Ide atau usul para wakil rakyat yan berpengalaman merupakan sumbangan yang berharga bagi pemerintah. Karena itu para wakil rakyat harus yang berpengetahuan dan berwawasan luas serta bermoral baik. Wakil-wakil rakyat yang demikian membawa dampak positif terhadap pemerintah sehingga akan melahirkan undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat.[17]
Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling taat kepada undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang terpilih memiliki dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu.[18]
Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan  menurut Al-Afghani adalah rakyat, karena dalam pemerintahan republik, kekuasaan atau kedaulatan rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih oleh rakyat.

c.     Pan Islamisme
Al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih jajahan. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam.[19]
Kesatuan benar-benar menjadi tema pokok pada tulisan Al-Afghani. Ia menginginkan agar umat Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman, yang kehilangan kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama. Bahkan perbedaan besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat dijembatani sehingga ia menyerukan  kepada bangsa Persia dan Afghan  supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah syi’ah dan yang kedua adalah bukan, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide rekonsiliasi umum dari kedua sekte tersebut.
Meskipun semua ide Al-Afghani bertujuan  untuk mempersatukan umat Islam guna menanggulangi penetrasi barat dan kekuasaan Turki Usmani yang dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islamnya itu tidak jelas. Apakah bentuk-bentuk kerjasama tersebut dalam rangka mempersatukan umat Islam dalam bentuk asosiasi, atau bentuk federasi yang dipimpin oleh  seseorang atau badan yang mengkoordinasi kerjasama tersebut, dan atau seperti negara persemakmuran di bawah negara Inggris. Sebab ia mengetahui  adanya kepala negara  di setiap negara Islam. Tapi, menurut Munawwir Sjadzali, Pan-Islamismenya  Al-Afghani itu adalah suatu asosiasi antar negara-negara Islam dan umat Islam di wilayah jajahan untuk menentang kezaliman interen, para pengusaha muslim yang lalim, menentang kolonialisme dan imperialisme barat serta mewujudkan keadilan.[20]
Al-Afghani menekankan solidaritas sesama muslim karena ikatan agama, bukan ikatan teknik atau rasial. Seorang penguasa muslim entah dari bangsa mana datangnya, walau pada mulanya kecil, akan berkembang dan diterima oleh suku dan bangsa lain seagama selagi ia masih menegakkan hukum agama. Penguasa itu hendaknya dipilih dari orang-orang yang paling taat dalam agamanya, bukan karena pewarisan, kehebatan sukunya atau kekayaan materialnya, dan disepakati oleh anggota masyarakatnya.[21]
Inilah ide pemikir orisinil yang merupakan solidaritas umat yang dikenal dengan Pan-Islamisme atau Al-Jamiah al Islamiyah (Persaudaraan sesama umat Islam sedunia.

3.      Muhammad Abduh
Perhatian utama Abduh adalah problem kemunduran umat umat islam, dan banyaknya dorongan untuk mengubah kemunduran ini dengan berupaya meniru barat. Menurut Abduh kaum muslim berada pada derajat yang rendah karna kaum muslim telah meninggalkan Islam sejati.[22]
Kemunduran tersebut, didasari pemahaman tentang pandangan bahwa segala sesuatu telah di tentukan oleh Tuhan. Hal ini menyebabkan kurangnya inisiatif kaum muslim unntuk membangun peradaban dan berkompetisi membangun dunia yang lebih menjanjikan
Abduh berusaha menyanggah kritik bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah ketidak mampuanya menyesuaikan dengan peradaban Modern. Hal ini di dasari dengan fenomena banyaknya poligami dan perceraian yang terjadi di masyarakat Muslim.
Abduh menyadari bahwa tugas terbesarnya adalah menyadarkan kaum Muslim akan kondisi mereka, menantang mereka untuk bangkit membuat perubahan, membuat mereka percaya bahwa kemunduran ini tidak selamanya disebabkan ketidak mampuan yang bersifat individu maupun menghadapi tantangan dunia Modern.[23]
Persoalan tantang modernitas bukan terletak pada apakah mungkin menjadi muslim sambil menerima modernitas. Akan tetapi relevankah Islam dengan Modern. Sesungguhnya tidak ada konflik antara Islam dengan Modernitas, Islam sesungguhnya adalah agama yang rasional. Islam harus meluruskan peradaban Modern, sehingga Islam akan menjadi gigih dengan sumber kekuatanya.
Tujuan Abduh adalah untuk menunjukkan bahwa Islam mengandung pada dirinya kualitas agama rasional, ilmu pengetahuan sosial dan aturan moral sebagai landasan kehidupan modern.[24]

4.      Muhammad Rasyid Ridha
Secara umum, pandangan Islam yang dipegang Rasyid Ridha adalah seperti yang disebarluaskan oleh al-Afghani dan Abduh. Pandangan ini bermula dari “mengapa negri-negri Muslim ketinggalan dalam semua aspek peradaban”. Jawabanya diletakkan pada rangkaian yang esensial yaitu kebenaran religius dan kemakmuran duniawi.
Ajaran dan perintah Islam serba mencangkup dan saling berkaitan. Jika pemahaman tentang Islam selaran dengan apa yang diajarkanya, maka kesuksesan dunia dan kesuksesan akhirat akan tercapai. Seperti halnya kekuatan, harga diri, peradaban dan kebahagiaan. Begitupun sebaliknnya, jika ajaran Islam tidak dipatuhi, kelemahan, keruntuhan, dan barbarianisme adalah hasilnya. Hal tersebut berlaku baik bersifat Individu amaupun komunitas.[25]
Kemudian Ridha melanjutkan pada prinsip-prinsip yang harus terpenuhi dalam ajaran Islam. Prinsip tersebut adalah aktivitas umat dalam usaha yang positif. Usaha tersebut erat kaitanya dengan hakikat Islam, dan inilah yang disebutkan oleh Ridha dengan Jihad dalam pengertian yang luas.
Orang-orang eropa memiliki dinamisme yang lebih dari siapapun sehingga mereka mampu menaklukkan dunia. Mereka bersedia mengorbankan harta dan nyawa mereka untuk bangsa. Mereka memiliki loyalitas yang tidak satupun dari mereka menghianatinya. Sedangkan orang muslim mendapatkan loyalitas semacam itu dalam Agamanya yang mencakup kedalaman spiritual dan kesuksesan dunia.
Semua umat bersatu di bawah satu keyakinan, satu sistem moral dan satu sistem pendidikan dan tunduk pada satu sistem hukum. Hukum dan undang-undang tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, untuk kesatuan umat perlu mengambil bentuk negara.
Negara yang dianjurkan Rasyid Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan. Sebab Rasyid Ridha memiliki program pelaksanaan yaitu menghidupkan kembali sistem kekhalifahan di dalam zaman modern., karena bentuk pemerintahan seperti ini akan membawa kesatuan umat Islam.[26]
Kepala negara ialah khalifah. Karena khalifah memiliki kekuasaan legislatif dan harus mempunyai sifat mujtahid. Akan tetapi dalam pada itu khalifah tidak boleh bersifat absolut. Sedangkan para ulama merupakan pembantu-pembantunya yang utama dalam soal memerintah umat.
Untuk mewujudkan kesatuan umat itu ia pada mulanya meletakkan harapan pada kerajaan Usmani, tetapi harapan itu hilang setelah Mustafa Kamal berkuasa di Istambul dan kemudian menghapus sistem pemerintahan khalifah dan berubah menjadi Republik.[27]
Menurut Rasyid Ridha calon khalifah tidak hanya terdiri dari ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid, tetapi juga dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai bidang termasuk bidang perdagangan, perindustrian dan sebagainya. Syarat bagi calon khalifah yaitu harus berilmu dan mampu berijtihad.

Syarat untuk dapat menduduki jabatan khalifah adalah berilmu dalam arti menguasai pengetahuan agama dan bahasa Arab, sehingga mampu memahami secara tepat maksud-maksud Alquran dan sunnah Nabi dan teladan-teladan yang diwariskan oleh para pendahulu (salaf) yang saleh, dan yang sudah mencapai tingkat mampu berijtihad secara betul. Untuk mempersiapkan calon-calon khalifah yang memenuhi syarat-syarat tersebut, Rasyid Ridha mengusulkan pendirian suatu lembaga pendidikan tinggi keagamaan untuk mendidik dan mencetak calon-calon khalifah.
Dalam lembaga pendidikan ini, diajarkan berbagai cabang ilmu agama Islam, sejarah, ilmu kemasyarakatan dan ajaran-ajaran agama lainnya. Kemudian khalifah dipilih dari antara para lulusan dan lembaga tersebut yaitu mereka yang telah memperlihatkan keunggulan dalam penguasaan ilmu dan kemampuan berijtihad.
Pemilihan itu dilakukan dengan bebas dan oleh rekan-rekan sesama lulusan lembaga itu, untuk kemudian dikukuhkan melalui baiat oleh Ahl-al-Halli wa al-Aqdi (orang yang berhak memilih Khalifah/para ahli ilmu khususnya keagamaan dan mengerti permasalahan umat) dari seluruh dunia Islam. Taat kepada khalifah yang dipilih dan kemudian dibaiat dengan cara demikian itu hukumnya wajib bagi tiap Muslim.[28]
Untuk melaksanakan “proyek” menghidupkan kembali lembaga kekhalifahan itu Rasyid Ridha mengusulkan diselenggarakannya suatu muktamar raya Islam di Kairo, Mesir, yang dihadiri oleh wakil-wakil dari semua negara Islam dan seluruh umat Islam. Dengan menambahkan bahwa Mesir adalah satu-satunya negara yang layak menjadi penyelenggara pertemuan akbar Islam seperti itu, tanpa memberikan uraian lebih lanjut tentang alasannya. Muktamar tersebut berlangsung pada tahun 1926 M, tetapi muktamar tersebut berakhir dengan kegagalan. Karena banyak dan kuatnya pertentangan di antara para peserta muktamar dan akhirnya tidak dapat tercapai kesepakatan.[29]
Tentang Nasionalisme yang sedang menggejala pada masa itu, Rasyid Ridha berpendapat bahwa faham Nasionalisme itu bertentangan dengan persaudaraan Islam. Maka ia tidak setuju dengan faham Nasionalisme yang dibawa oleh Mustafa Kemal di Mesir maupun Turki Muda di Turki. Menurutnya persaudaraan Islam tidak mengenal batas baik ras, bangsa, bahasa dan tanah air.[30]

Munculnya gagasan nasionalisme cinta tanah air, patriotsme, dan dibarengi dengan partai-partai politik merupakan modal utama umat islam dalam perjuanganya untuk mewujudkan negara merdeka.
Tahun 1922, Timur Tengah (Mesir) memperoleh kemerdekaan dari Inggris, namun pada tanggal 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka. Pada tahun 1951 di Afrika, tepatnya Lybia merdeka, Sudan dan Maroko tahun 1956, Al-Jazair tahun 1962. Semua membebaskan diri dari Prancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman Utara, Yaman Selatan, dan Emirate Arab memperoleh kemerdekaanya.
Demikianlah, satu persatu Negri-negeri islam memerdekakan diri dari penjajahan. Bahkan, beberapa diantaranya baru mendapatkan kemerdekaan pata tahun-tahun terakhir, Kirghistan, Kazakhtan, Tasjikistan, dan Azerbaijan pada tahun 1992.[31]
Kesimpulan
\
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Ketika mesir jatuh ditanagan kolonial, umat Muslim sadar bahwa mereka telah kalah jauh dari peradaban barat. Kesadaran akan ketertinggalan tersebut diperparah dengan minimnya nilai-nilai Islam yang diletakkan pada berbagai aspek kehidupan. Baik dalam ruang lingkup peribadatan, kenegaraan, ilmu pengetahuan maupun kesatuan umat islam.
2.      Sadar akan ketertinggalan dari barat, Islam mengusung semangat reformasi dan modernisasi yang berkarakter Islam. Kesadaran akan cinta tanah air, kesatuan umat, patriotisme, nasionalisme menjadi semangat yang diusung oleh pembaharu pemikiran Islam seperti: Thahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha.
3.      Tahun 1922, Timur Tengah (Mesir) memperoleh kemerdekaan dari Inggris, namun pada tanggal 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka. Pada tahun 1951 di Afrika, tepatnya Lybia merdeka, Sudan dan Maroko tahun 1956, Al-Jazair tahun 1962. Semua membebaskan diri dari Prancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman Utara, Yaman Selatan, dan Emirate Arab memperoleh kemerdekaanya.


Daftar Pustaka

Hasan, Ilyas. Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1996.
Hourani, Albert, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Bandung: Mizan, 2004
John J. Dnohu dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Eksiklopedi Masalah-Masalah (Terjemahan Machnun Husein), Jakarta : Rajawali, 1984.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam “Bagian Ketiga”, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta : Logos, 1997.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan Jakarta : Bulan Bintang, 1975.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Grafindo Persada, 1994.
Rahmena, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung : Mizan, 1995.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, “Ajaran, Sejarah dan Pemikiran”. Jakarta: UI press, 1993.


[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975, cet. ke-1, h. 10.
[2] Ibid, h. 13
[3] Ibid, h. 11
[4] Ali Rahmena (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1995), h. 17
[5] Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam “Bagian Ketiga”, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 200). h. 11
[6] Ibid., h. 14
[7] Ibid., h. 17
[8] Ibid., h. 17
[9] Ibid., h. 27
[10] Hourani, Albert, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004), h. 124
[11] Ibid., h. 127
[12] Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos, 1997), h. 155.
[13] Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta : Grafindo Persada, 1994), h. 280
[14] Ibid, h. 282-283
[15] Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam... h. 54
[16] Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah... h.285
[17] Ibid., h. 287
[18] John J. Dnohu dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Eksiklopedi Masalah-Masalah (Terjemahan Machnun Husein), (Jakarta : Rajawali, 1984) h. 25
[19] Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah... h.294
[20] Ibid., 294
[21] Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan... h. 159
[22] Hasan, Ilyas, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 50
[23] Ibid., 51
[24] Hourani, Albert, Pemikiran Liberal... h. 225
[25] Ibid,. H. 365
[26] Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam... h. 74-75
[27] Ibid., h. 74-75
[28] Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, “Ajaran, Sejarah dan Pemikiran”. (Jakarta: UI press, 1993). H. 134
[29] Ibid., 136
[30] Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab...  h. 168
[31] Yatim, badri. Sejarah peradaban Islam. (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 187-189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar