Kamis, 11 Februari 2016

Perbandingan Madzhab



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semua makhluk di dunia ini dilahirkan dengan keadaan yang berbeda-beda, mulai dari bentuk, karakteristik, letak geografis dan lain-lain. Bahkan manusia pun dilahirkan berbeda-beda, tidak mungkin semuanya sama, terutama dalam pola fikir dan kemampuan intelektual mereka pun juga berbeda. Sehingga ketika hukum berbicara, banyak sekali perbedaan pendapat yang muncul, ada yang menyetujui dan ada pula yang menentang secara radikal.
Fiqh merupakan hasil ijtihad manusia, yang bersifat relatife, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah faktor mujtahidnya atau siapa yang berijtihad, faktor situasi dan kondisi yakni dalam situasi dan kondisi bagaimanakah waktu mujtahid tersebut beristimbat, bagaimana situasi pemerintahan pada waktu itu, dan sebagainya.
Perbedaan hukum Islam bisa dilihat terutama setelah meluasnya agama Islam ke berbagai belahan dunia, hal tersebut juga dibarengi dengan banyaknya peristiwa-peristiwa baru yang muncul dalam kehidupan manusia. Keadaan ini menyebabkan para ulama yang dijadikan tempat bertanya tentang hukum Islam berusaha mencari dan menemukan hukum peristiwa tersebut melalui ijtihad.

B. Rumusan Masalah

BAB II
PEMBAHASAN


A. Madzhab-Madzhab Suni
Dalam sejarah pengkajian hukum Islam, dikenal beberapa mazhab yang secara umum dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu Mazhab Sunni dan Syi’i.
Dalam Mazhab Sunni sendiri dikenal berbagai mazhab, antara lain mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, Auza’i, Laitsi, Tsauri, dan Dhahiri. Tidak semua mazhab-mazhab ini berkembang di masyarakat, yaitu ada yang tidak berkembang, bahkan tidak dikenal lagi oleh masyarakat.
Diantara yang masih berkembang adalah empat mazhab pertama yang sudah tersebut di atas, sedangkan keempat mazhab terakhir sudah tidak lagi berkembang.
1. Mazhab Hanafi
Mazhab ini didirikan oleh Imam Hanafi, nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maha. Lahir di Kuffah pada tahun 80 H, dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H. dalam usia 70 tahun. Abu Hanifah hidup di masa Dinasti Umayyah selama 52 tahun, dan di masa Dinasti Abbasiyah selama 18 tahun. Dengan demikian, beliau faham akan hiruk pikuk pergantian kekuasaan Islam pada kedua masa tersebut.
Abu Hanifah dikenal sebagai pedagang sutera, terkenal jujur dan lugas. Beliau berguru samapi berumur 40 tahun kepada Imam Hammad bin Sulaiman (w.120H). ketika gurunya wafat, ilmu yang didapatkannya mebuat Beliau mampu secara mandiri melakukan ijtihad tanpa peduli apakah hasil ijtihadnya sama dengan gurunya atau tidak, dana Beliau pun menggantikan Imam Hammad mengajar di Halaqah pada sebuah masjid di Kuffah. Lewat inilah, Beliau banyak mengemukakakn fatwa fiqhnya yang kemudian dikenal sebagai mazhab Hanafi.
Mazhab Hanafi adalah aliran fiqh yang merupakan hasil ijtihad Imam Abu Hanifah berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Pembentukannya banyak menggunakan Ra’yu (rasio/fikiran). Dalam menyusun mazhabnya, Imam Abu Hanifah pertama-tama merujuk kepada al-Qur’an, lalu kepada Sunnah Nabi. Jika dalam kedua sumber tersebut tidak ditemukan hukumnya, meka Beliau berpegang pada Ijma’ Sahabat. Namun jika para Sahabat berbeda pendapat, maka Beliau memilih salah satu pendapat tersebut dan tidak keluar dari pendapat kalangan yang ada dari mereka. Beliau tidak terikat pada pendapat para Tabi’in, karena sama-sama berijtihad.
Dalam menerima suatu hadis sebagai penafsir al-Qur’an, Beliau melakukan seleksi yang lebih ketat sehingga hadis yang dapat diterimanya sebagai sumber hukum relatif terbatas. Dengan hal ini peran Ijtihad menjadi lebih besar dalam upaya menjawab permasalahan hukum di Irak yang lebih banyak dan kompleks dibandingkan dengan tempat lain.
Terlihat pada penerimaan Hadis Ahad, syarat-syarat yang disepakati seperti diriwayatkan dari Sahabat yang begitu banyak (tetapi tidak mutawattir) serta tidak dipertentangkan. Beliau juga mensyaratkan bahwa isi hadis yang diriwayatkan itu tidak menyalahi dengan apa yang dipraktekkan oleh perawi itu sendiri. Misalnya, Beliau menolak hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasul bersabda:
Bersihkanlah bejana salah satu orang di antara kamu apabila dijilat anjing dengan tujuh kali basuhan, dan basuhan pertama dengan tanah”. (HR. Muslim).
Hadis ini ditolak karena dalam prakteknya, Abu Hurairah selaku perawi hanya membasuh bejananya sebanyak tiga kali, hal ini menunjukkan bahwa hadis itu tidak benar.
Metode ijtihad Abu Hanifah adalah: Qiyas; Urf, Istihsan, Hiyal Syar’iyyah (Hilah). a. Qiyas (analogi): Penetapan hukum dari cara mencari hukum yang memiliki persamaan pada inti permasalahan atau illatnya yang disebut dalam nash (al-Qur’an dan Sunnah Nabi), maka hukumnya dapat disamakan. b. Istihsan: Apabila hasil Qiyas dalam satu kondisi dipandang bertentangan dengan kepentingan lain yang menurut kebiasaan syaria’t lebih utama untuk dipertahankan, maka Beliau meninggalkan hasil Qiyas tersebut dan mencari dalil hukum lain yang lebih sesuai. c. ‘Urf (adapt Istiadat): ketentuan positif yang telah mapan dalam masyarakat dapat dikukuhkan sebagai hukum Islam sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. d. Hillah Syar’iyyah: suatu jalan yang dilalui sebagai upaya untuk keluar dari kesempitan dengan cara yang menurut Beliau diakui oleh Syara’. Abu Hanifah sering menggunakan hilah dalam masalah sumpah dan Taklik Talak.
Contoh: saat seorang lelaki bersumpah untuk mencampuri istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Sebagai jalan keluarnya, Imam Hanafi melakukan hilah dengan memfatwakan agar laki-laki itu membawa istrinya mengadakan perjalanan. Dalam keadaan musafir tersebut secara halah boleh mencampuri istrinya, sehingga lelaki itu dapat memenuhi sumpahnya. Menurut hokum Islam, orang yang sedang dalam perjalanan memiliki rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa.
2. Mazhab Maliki
Imam Malik, Beliaulah cikal bakal mazhab Maliki. Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah.
Imam Malik belajar imam malik belajar Qira’ah kepada Nafi’ bin Abi Na’im, lalu belajar Hadis kepada Ulama Madinah, seperti Ibnu Syihab az-Zuhri (51-124 H), Nafi’ Maula bin Amr (w.117 H). Ilmu Fiqh yang dipelajarinya antara lain dari Rabi’ah bin Abdurrahman/Rabi’ah ar-Ra’yi (w.136H / 753M.).
Dengan bekal ilmunya, Beliau melakukan ijtihad secara mandiri dan mendirikan halaqah. Setelah terlebih dahulu keahlian mengajarnya mendapat pangakuan dari 70 ulama terkemuka di Madinah. Para ulama sepakat bahwa Imam Malik adalah tokoh terpercaya dalam meriwayatkan Hadis. Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab Hadis bergaya Fiqh/kitab fiqh bergaya Hadis. Inilah kitab fiqh dan hadis tertua yang masih dapat kita jumpai. Tidak kurang dari 132 hadis dari al-Zuhri diriwayatkan dalam Muwatta’ dan 80 Hadis dari Nafi’ Maula Ibn Umar.
Mazhab Maliki adalah aliran fiqh hasil ijtihad Imam Malik yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Mazhab ini dikenal dari mazhab aliran Hadis (Ahlu Hadis dan Ahlu ar-Ra’yi) dan dalam pembentukannya terkenal banyak berorientasi kepada kemaslahatan manusia. Apabila suatu hukum dari suatu masalah tidak ditemukan dalam teks al-Qur’an dan as-Sunnah, maka Imam Malik merujuk kepada praktek penduduk Madinah (Amal Ahl adinah), tempat kediaman Beliau.
Amal Ahl Madinah: perilaku sehari-hari penduduk Madinah, negeri dimana tempat Rasul berhijrah dari Makkah dan di situlah Berdomosili menyampaikan ajaran agama kepada Para Sahabat. Praktek keagamaan para Sahabat tidak lain adalah praktek yang diwarisi dari Rasulullah. Di sini penduduk Madinah ditempatkan sebagai orang yang paling tahu terhadap sunnah Nabi, nash atau dan mansukhnya. Apabila penduduk Madinah sepakat tentang suatu perilaku, maka kesepakatan itu lebih tinggi nilainya dibandingkan Qiyas dan Khbar Ahad ( kendati shahih sanadnya).
Kalaupun bukan kesepakatan, perilaku mayoritas karena kesepakatan bersama (dengan bentuk perilaku) nilainya sama dengan periwayatan mereka. Misalnya kesepakatan berbagai ukuran (Mud dan Sha’), bilangan adzan dan iqamat, andaikan terdapat sebuah Hadis Ahad tidak didukung oleh Amal Ahl Madinah dan Qiyas, maka Hadis Ahad itu akan ditolak. Pendapat Sahabat ditempatkan sebagai rujukan berikutnya. Karena pendapat Sahabat itu tidak Ma’shum, ada peluang kesalahan. Bila terjadi perbedaan, maka yang terpilih adalah pendapat ulama’ yang terbaik hafalannya, penalaran, dan keperwiraannya.
Metode ijtihad yang digunakan Imam Malik antara lain adalah: Qiyas: penyamaan hukum masalah yang tidak ada hukumnya dalam teks al-Qur’an dan as-Sunnah dengan hukum masalah yang terdapat hukumnya dalam salah satu atau kedua sumber tersebut disebabkan kesamaaan illatnya.
Ishtishlah: metode yang dilandaskan atas Maslahah Mursalah. Mashlahah menurut bahasa: kebaikan. Mursalah: bebas, tidak terbatas, tidak terikat. Maslahah Mursalah: kepentingan dan kebaikan yang diperoleh secara bebas. tori ini diilhami pada suatu paham bahwa syari’ah Islam bertujuan memelihara agama, nyawa, akal, keturunan/kehormatan, dan harta. Mendatangkan manfaat, kesejahteraan dan kedamaian bagi kepantingan masyarakat dan mencegah kemahdlaratan. Tiga syarat dalam ditetapkannya Maslahah Mursalah:
a.       Kepentingan tersebut sejalan dengan jiwa syari’at dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
b.      Persoalan yang diijtihadkan harus sesuatu yang menyinggung persoalan-persoalan kemanusiaan dan esemsi dari maslahah itu harus masuk akal, sehingga bilamana dikemukakan pada ahlinya, mereka akan mengakuinya.
Kepentingan itu bersifat Dharuri, bukan Hajji dan bukan Tahsini.
Contoh: keputusan hukum yang didasarkan pada Maslahah Mursalah:
a.       Pengenaan pajak bagi orang kaya dan membiayai angkatan bersenjata dan melindungi Negara.
b.      Hukuman bagi tindak criminal dengan mencabut kekayaan pelaku, jika tindak criminal ditopang oleh kekayaannya.
Istihsan: sembilan persepuluh ilmu. Istihsan yang dipakai oleh Imam Malik adalah mendahulukan kehendak maslahah atas kehendak Qiyas, dilakukan karena rukhshah. Contoh: Imam Malik membolhkan mengupah seorang pekerja dengan upah berupa makanan selama bekerja, walaupun kadar makanan tidak ditentukan secara pasti.
3. Mazhab Syafi’i.
Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: شافعية , Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar dan Bahrain.
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik.
Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut :
                  1.         Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
                  2.         Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
                  3.         Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
                  4.         Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.
4. Mazhab Hambali
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani. Beliau lahir di kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H (780 M), pada masa Khalifah Muhammad al Mahdi dari Bani abbasiyyah ke III. Nasab beliau yaitu Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hajyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzahal Tsa’labah bin akabah bin Sha’ab bin Ali bin bakar bin Muhammad bin Wail bin Qasith bin Afshy bin Damy bin Jadlah bin Asad bin Rabi’ah bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Jadi beliau serumpun dengan Nabi karena yang menurunkan Nabi adalah Muzhar bin Nizar.Menurut sejarah beliau lebih dikenal dengan Ibnu Hanbal (nisbah bagi kakeknya).
Beliau menuntut ilmu dari banyak guru yang terkenal dan ahli di bidangnya. Misalnya dari kalangan ahli hadits adalah Yahya bin Sa’id al Qathan, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, sufyan bin Uyainah dan Abu Dawud ath Thayalisi. Dari kalangan ahli fiqh adalah Waki’ bin Jarah, Muhammad bin Idris asy Syafi’i dan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah ) dll. dalam ilmu hadits, beliau mampu menghafal sejuta hadits bersama sanad dan hal ikhwal perawinya.
Ibnu Qayyim al-Jazi’ah menyebutkan dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in Rabb al-‘Alamin bahwa fiqh Imam Ahmad bin Hambal dibangun atas lima landasan:
           1.            Nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) : Al-Qur’an dan as-Sunnah ditempatkan sejajar pada peringkat prtama dalam urutan sumber hukum, alasannya kehujjahan sunnah Nabi ditetapkan dengan al—Qur’an. Namun demikian, dalam prakteknya sewaktu beliau menetapkan hukum, sunnah Nabi diletakkan pada jajaran kedua setelah al-Qur’an. Berpegang teguh pada sunnah Nabi di samping al-Qur’an dan mengabarkan segala bentuk pendapat yang berbeda dengannya, merupakan prinsip yang sangat mendasar dalam pembentukan Mazhab Hambali. Didasarkan pada sabda Nabi: “barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak datang dari kami, maka amalan itu ditolak”.(HR. Ahmad bin Hambal dan Muslim). Maka fiqhnya dikenal dengan fiqh sunnah.
           2.            Fatwa Shabat
           3.            Hadis Mursal : dengan catatan bila hukum suatu masalah tidak ditemukan dapat ditemukan dalam sumber-sumber tersebut sebelumnya.
           4.            Hadis Dlaif : dengan catatan hadis dlaif yang bertalian dengan ihwal keutamaan amaliyah. Dan selama perawinya bukan disebabkan perawinya pembohong. Dimaksudkan bahwa hadis dlaif yang tergolong shahih atau hasan. Dalam pandangan Beliau, hadis hanya terbagi menjadi dua yaitu shahih dan dlaif. Hadis dlaif ada bertingkat-tingkat, yang dimaksudkan di sini adalah hadis dlaif yang ada pada tingkatan paling atas. Menggunakan hadis seperti ini lebih utama dari pada menggunakan Qiyas.
           5.            Qiyas : digunakan dalam keadaan darurat : Dibandingkan dengan mazhab-mazhab besar lainnya, Mazhab Hambali lebih sedikit pengikutnya, menurut Manna al-Qattan: karena banyak diantara tokoh pengikut Imam Ahmad yang menolak untuk diangkat menjadi qadli/hakim, sehingga dalam perkembangannya tidak didukung oleh pihak penguasa atau pemerintah. Mazhab Hambali menjadi maazhab resmi di Negara Saudi Arabia yang menetapkan syari’at Islam secara utuh. Baik dalam bidang al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Hukum Perdata, Qishos, Hudud, (hukum zini, pecurian, dan perampokan). Karya terbesar yang memuat Mazhab Hambali adalah kitab al-Jami’ al-Kabir karya Ahmad bin Muhammad al-Khalal (w. 311 H.). menurut abdul Aziz Abdurrahman al-Sa’id, buku ini terdiri dari 200 juz, namun masih dalam bentuk manuskrip yang tersimpan di perpustakaan Inggris.
B. Madzhab Sunni Yang Sudah Punah
Pengertian mazhab yang telah punah di sini menurut ulama fiqh adalah mazhab tersebut tidak memiliki tokoh dan pengikut yang fanatik, sekalipun ada sebagian pendapat mazhab tersebut dianut sebagian ulama atau masyarakat, hal tersebut hanya merupakan salah satu pendapat yang menjadi alternatif untuk menjawab kasus tertentu. Selain itu, mazhab tersebut dinyatakan punah karena pendapatnya tidak dibukukan sehingga tidak terpublikasikan secara luas, sehingga pengikutnya pun tidak ada. Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:
1. Mazhab al-Auza'i
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman al-Auza'i (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam (Suriah) yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai salah seorang ulama besar Damascus yang menolak qiyas. Dalam salah satu riwayat ia berkata: “Apabila engkau menemukan sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkanlah seluruh pendapat yang didasarkan kepada yang lainnya (selain Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW).”
Mazhab al-Auza'i pernah dianut oleh masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi'i menggantikannya. Mazhab ini juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Mazhab Maliki berkembang di sana. Pemikiran Mazhab al-Auza'i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa literatur fiqh (tidak dibukukan secara khusus).
Pemikiran al-Auza'i dapat dilihat dalam kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (w. 310 H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf al-Fuqaha, dan dalam kitab al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi'i. Dalam al-Umm, asy-Syafi'i mengemukakan perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan al-Auza'i, serta antara Imam Abu Yusuf dan al-Auza'i. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir (ahli fiqh dari Mesir), Mazhab al-Auza'i tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal abad kedua Hijriyah.
2. Mazhab as-Sauri
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri (w. 161 H./778 M.). Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut as-Sauri tidak banyak. Ia juga tidak meninggalkan karya ilmiah. Mazhab ini pun tidak dianut masyarakat lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri, yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti dalam Mazhab as-Sauri di Masjid al-Mansur, Baghdad.
3. Mazhab al-Lais bin Sa'ad
Tokoh pemikirnya adalah al-Lais bin Sa'ad. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini telah punah dengan masuknya abad ke-3 H. Fatwa hukum yang dikemukakan al-Lais yang sampai sekarang tidak bisa diterima oleh ulama mazhab adalah fatwanya tentang hukuman berpuasa berturut-turut selama dua bulan terhadap seorang pejabat di Andalusia yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadhan.
Dalam fatwanya, al-Lais tidak menerapkan urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam hadits itu dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak. kalau tidak mampu memerdekakan budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan kalau tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang.
Al-Lais tidak menerapkan hukuman pertama (memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa akan dengan mudah memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan preventif tidak tercapai. Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir miskin bukanlah suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais menetapkan hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut.
Menurutnya, hukuman tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara'. Jumhur ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash menentukan bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut semestinya adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan berturut-turut. Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais, menurut jumhur ulama adalah al-maslahah al-gharibah (kemaslahatan yang asing yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh makna sejumlah nash).
4. Mazhab ath-Thabari
Tokoh pemikirnya adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.). Menurut Ibnu Nadim (w. 385 H./995 M.; sejarawan), ath-Thabari merupakan ulama besar dan faqih di zamannva. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits dan mufassir. Kitabnya di bidang tafsir masih utuh sampai sekarang dan dipandang sebagai buku induk di bidang tafsir, yang dikenal dengan nama Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an. Di bidang fiqh ath-Thabari juga menulis sebuah buku dengan judul Ikhtilaf al-Fuqaha.
Dalam bidang fiqh, ath-Thabari pernah belajar fiqh Mazhab Syafi'i melalui ar-Rabi bin Sulaiman di Mesir, murid Imam asy-Syafi'i. Akan tetapi, tidak banyak ulama dan masyarakat yang mengikuti pemikiran fiqh ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak mempunyai pengikut lagi.

5. Mazhab az-Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi Usul al-Ahkam di bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.
Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab ini adalah memahami nash (Al-Qur' an dan sunnah Nabi SAW) secara literal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian yang dimaksud dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah tidak dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma'.
Ijma' yang mereka terima adalah ijma' seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai dengan pengertian ijma' yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak kehujahan ijma', karena ijma' seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang dikemukakan Imam asy-Syafi'i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan, al-maslahah al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra'yu (rasio semata).
Dengan punahnya mazhab-mazhab kecil ini, maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam di berbagai wilayah Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib al-Arba'ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar).



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perbedan pola fikir yang menimbulkan bermacam-macam pendapat dalam kalangan umat Islam khususnya perbedaan pendapat oleh tokoh-tokoh pembaharu Islam adalah sunnatullah yang tidak dapat dipungkiri lagi. Sehingga muncul berbagai macam mazhab-mazhab, diantaranya adalah mazhab-mazhab sunni yang masih berkembang sampai sekarang atau pun yang sudah punah.
Kemunculan mazhab-mazhab ini disebabkan munculnya para tokoh pebaharu yang degan ide gagasannya tentang hukum Islam yang berlaku dalam suatu masyarakat, dimana hukum-hukum itu dibuat suatu pegangan untuk beragama dan bermasyarakat. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori, dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum.
Dalam beristimbat, mereka berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai landasan pokok ketika berijtihad. Setelah itu mereka berpatokan pada metode-metode istimbat seperti ijma’, Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalh, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan bahan pendukung ketika mereka berijtihat, apabila masalah hukum tidak ditemukan atau masih global dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan hal itu dibutuhkan suatu penelitian oleh para Imam Mazhab.
Dalam perkembangannya, hanya ada empat mazhab sunni yang masih berkembang dalam masyarakat, yaitu seperti yang telah disebutkan di atas, saat ini juga masih dipakai sebagai rujukan di negara-negara muslim, seperti Timur Tengah dan di beberapa belahan Asia khususnya.
B. Saran
Dari hasil kesimpulan di atas, perlu kiranya penulis dan pembaca memberikan saran konstruktif bagi proses Rasioalitas masyarakat indonesia. Sangat naif sekali penulis dengan ringkasnya mengampil poin-poin besar, padahal dalam perjalananya, para ulama’ membutuhkan waktu berabad-abad.
DAFAR PUSTAKA

Dahlan, Abdul Aziz. 1996.Ensiklopedi Hukum Islam. Ichtian Baru: Jakarta.
Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Dina Utama Semarang (Toha Putra group): Semarang.
Yusuf, Muhammad dkk. 2005. Fiqh & Ushul Fiqh. Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta
Zahrah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqih. Pustaka Firdaus: Jakarta
Zuhri, Muh.1996. Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah. Rajagrafindo: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar