BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua makhluk di dunia
ini dilahirkan dengan keadaan yang berbeda-beda, mulai dari bentuk,
karakteristik, letak geografis dan lain-lain. Bahkan manusia pun dilahirkan
berbeda-beda, tidak mungkin semuanya sama, terutama dalam pola fikir dan
kemampuan intelektual mereka pun juga berbeda. Sehingga ketika hukum berbicara,
banyak sekali perbedaan pendapat yang muncul, ada yang menyetujui dan ada pula
yang menentang secara radikal.
Fiqh merupakan hasil
ijtihad manusia, yang bersifat relatife, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Diantaranya adalah faktor mujtahidnya atau siapa yang berijtihad, faktor
situasi dan kondisi yakni dalam situasi dan kondisi bagaimanakah waktu mujtahid
tersebut beristimbat, bagaimana situasi pemerintahan pada waktu itu, dan
sebagainya.
Perbedaan hukum Islam
bisa dilihat terutama setelah meluasnya agama Islam ke berbagai belahan dunia,
hal tersebut juga dibarengi dengan banyaknya peristiwa-peristiwa baru yang
muncul dalam kehidupan manusia. Keadaan ini menyebabkan para ulama yang dijadikan
tempat bertanya tentang hukum Islam berusaha mencari dan menemukan hukum peristiwa
tersebut melalui ijtihad.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Madzhab-Madzhab Suni
Dalam sejarah
pengkajian hukum Islam, dikenal beberapa mazhab yang secara umum dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar yaitu Mazhab Sunni dan Syi’i.
Dalam Mazhab Sunni
sendiri dikenal berbagai mazhab, antara lain mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I,
Hambali, Auza’i, Laitsi, Tsauri, dan Dhahiri. Tidak semua mazhab-mazhab ini
berkembang di masyarakat, yaitu ada yang tidak berkembang, bahkan tidak dikenal
lagi oleh masyarakat.
Diantara yang masih
berkembang adalah empat mazhab pertama yang sudah tersebut di atas, sedangkan
keempat mazhab terakhir sudah tidak lagi berkembang.
1. Mazhab Hanafi
Mazhab ini didirikan
oleh Imam Hanafi, nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maha.
Lahir di Kuffah pada tahun 80 H, dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H. dalam
usia 70 tahun. Abu Hanifah hidup di masa Dinasti Umayyah selama 52 tahun, dan
di masa Dinasti Abbasiyah selama 18 tahun. Dengan demikian, beliau faham akan
hiruk pikuk pergantian kekuasaan Islam pada kedua masa tersebut.
Abu Hanifah dikenal
sebagai pedagang sutera, terkenal jujur dan lugas. Beliau berguru samapi
berumur 40 tahun kepada Imam Hammad bin Sulaiman (w.120H). ketika gurunya
wafat, ilmu yang didapatkannya mebuat Beliau mampu secara mandiri melakukan
ijtihad tanpa peduli apakah hasil ijtihadnya sama dengan gurunya atau tidak,
dana Beliau pun menggantikan Imam Hammad mengajar di Halaqah pada sebuah masjid
di Kuffah. Lewat inilah, Beliau banyak mengemukakakn fatwa fiqhnya yang
kemudian dikenal sebagai mazhab Hanafi.
Mazhab Hanafi adalah
aliran fiqh yang merupakan hasil ijtihad Imam Abu Hanifah berdasarkan Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul. Pembentukannya banyak menggunakan Ra’yu (rasio/fikiran).
Dalam menyusun mazhabnya, Imam Abu Hanifah pertama-tama merujuk kepada al-Qur’an,
lalu kepada Sunnah Nabi. Jika dalam kedua sumber tersebut tidak ditemukan hukumnya,
meka Beliau berpegang pada Ijma’ Sahabat. Namun jika para Sahabat berbeda
pendapat, maka Beliau memilih salah satu pendapat tersebut dan tidak keluar
dari pendapat kalangan yang ada dari mereka. Beliau tidak terikat pada pendapat
para Tabi’in, karena sama-sama berijtihad.
Dalam menerima suatu
hadis sebagai penafsir al-Qur’an, Beliau melakukan seleksi yang lebih ketat
sehingga hadis yang dapat diterimanya sebagai sumber hukum relatif terbatas.
Dengan hal ini peran Ijtihad menjadi lebih besar dalam upaya menjawab
permasalahan hukum di Irak yang lebih banyak dan kompleks dibandingkan dengan
tempat lain.
Terlihat pada
penerimaan Hadis Ahad, syarat-syarat yang disepakati seperti diriwayatkan dari
Sahabat yang begitu banyak (tetapi tidak mutawattir) serta tidak
dipertentangkan. Beliau juga mensyaratkan bahwa isi hadis yang diriwayatkan itu
tidak menyalahi dengan apa yang dipraktekkan oleh perawi itu sendiri. Misalnya,
Beliau menolak hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang menceritakan bahwa
Rasul bersabda:
“Bersihkanlah bejana salah satu orang di antara kamu apabila dijilat
anjing dengan tujuh kali basuhan, dan basuhan pertama dengan tanah”. (HR.
Muslim).
Hadis ini ditolak
karena dalam prakteknya, Abu Hurairah selaku perawi hanya membasuh bejananya
sebanyak tiga kali, hal ini menunjukkan bahwa hadis itu tidak benar.
Metode ijtihad Abu
Hanifah adalah: Qiyas; Urf, Istihsan, Hiyal Syar’iyyah (Hilah). a. Qiyas (analogi): Penetapan hukum dari
cara mencari hukum yang memiliki persamaan pada inti permasalahan atau illatnya
yang disebut dalam nash (al-Qur’an dan Sunnah Nabi), maka hukumnya dapat
disamakan. b. Istihsan: Apabila hasil
Qiyas dalam satu kondisi dipandang bertentangan dengan kepentingan lain yang
menurut kebiasaan syaria’t lebih utama untuk dipertahankan, maka Beliau
meninggalkan hasil Qiyas tersebut dan mencari dalil hukum lain yang lebih
sesuai. c. ‘Urf (adapt Istiadat):
ketentuan positif yang telah mapan dalam masyarakat dapat dikukuhkan sebagai hukum
Islam sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. d. Hillah Syar’iyyah: suatu jalan yang
dilalui sebagai upaya untuk keluar dari kesempitan dengan cara yang menurut
Beliau diakui oleh Syara’. Abu Hanifah sering menggunakan hilah dalam masalah
sumpah dan Taklik Talak.
Contoh: saat seorang lelaki
bersumpah untuk mencampuri istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Sebagai jalan
keluarnya, Imam Hanafi melakukan hilah dengan memfatwakan agar laki-laki itu
membawa istrinya mengadakan perjalanan. Dalam keadaan musafir tersebut secara
halah boleh mencampuri istrinya, sehingga lelaki itu dapat memenuhi sumpahnya.
Menurut hokum Islam, orang yang sedang dalam perjalanan memiliki rukhshah (keringanan)
untuk tidak berpuasa.
2. Mazhab Maliki
Imam Malik, Beliaulah
cikal bakal mazhab Maliki. Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik
bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr
bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179
H/796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik
sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman,
namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah.
Imam Malik belajar imam
malik belajar Qira’ah kepada Nafi’ bin Abi Na’im, lalu belajar Hadis kepada
Ulama Madinah, seperti Ibnu Syihab az-Zuhri (51-124 H), Nafi’ Maula bin Amr
(w.117 H). Ilmu Fiqh yang dipelajarinya antara lain dari Rabi’ah bin
Abdurrahman/Rabi’ah ar-Ra’yi (w.136H / 753M.).
Dengan bekal ilmunya,
Beliau melakukan ijtihad secara mandiri dan mendirikan halaqah. Setelah
terlebih dahulu keahlian mengajarnya mendapat pangakuan dari 70 ulama terkemuka
di Madinah. Para ulama sepakat bahwa Imam Malik adalah tokoh terpercaya dalam
meriwayatkan Hadis. Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah
kitab Hadis bergaya Fiqh/kitab fiqh bergaya Hadis. Inilah kitab fiqh dan hadis
tertua yang masih dapat kita jumpai. Tidak kurang dari 132 hadis dari al-Zuhri
diriwayatkan dalam Muwatta’ dan 80 Hadis dari Nafi’ Maula Ibn Umar.
Mazhab Maliki adalah
aliran fiqh hasil ijtihad Imam Malik yang bersumber dari al-Qur’an dan
as-Sunnah. Mazhab ini dikenal dari mazhab aliran Hadis (Ahlu Hadis dan Ahlu
ar-Ra’yi) dan dalam pembentukannya terkenal banyak berorientasi kepada kemaslahatan
manusia. Apabila suatu hukum dari suatu masalah tidak ditemukan dalam teks
al-Qur’an dan as-Sunnah, maka Imam Malik merujuk kepada praktek penduduk
Madinah (Amal Ahl adinah), tempat kediaman Beliau.
Amal Ahl Madinah:
perilaku sehari-hari penduduk Madinah, negeri dimana tempat Rasul berhijrah
dari Makkah dan di situlah Berdomosili menyampaikan ajaran agama kepada Para
Sahabat. Praktek keagamaan para Sahabat tidak lain adalah praktek yang diwarisi
dari Rasulullah. Di sini penduduk Madinah ditempatkan sebagai orang yang paling
tahu terhadap sunnah Nabi, nash atau dan mansukhnya. Apabila penduduk Madinah
sepakat tentang suatu perilaku, maka kesepakatan itu lebih tinggi nilainya
dibandingkan Qiyas dan Khbar Ahad ( kendati shahih sanadnya).
Kalaupun bukan
kesepakatan, perilaku mayoritas karena kesepakatan bersama (dengan bentuk
perilaku) nilainya sama dengan periwayatan mereka. Misalnya kesepakatan
berbagai ukuran (Mud dan Sha’), bilangan adzan dan iqamat, andaikan terdapat
sebuah Hadis Ahad tidak didukung oleh Amal Ahl Madinah dan Qiyas, maka Hadis
Ahad itu akan ditolak. Pendapat Sahabat ditempatkan sebagai rujukan berikutnya.
Karena pendapat Sahabat itu tidak Ma’shum, ada peluang kesalahan. Bila terjadi
perbedaan, maka yang terpilih adalah pendapat ulama’ yang terbaik hafalannya, penalaran,
dan keperwiraannya.
Metode ijtihad yang
digunakan Imam Malik antara lain adalah:
Qiyas: penyamaan hukum masalah yang tidak ada hukumnya dalam teks al-Qur’an
dan as-Sunnah dengan hukum masalah yang terdapat hukumnya dalam salah satu atau
kedua sumber tersebut disebabkan kesamaaan illatnya.
Ishtishlah:
metode yang dilandaskan atas Maslahah Mursalah. Mashlahah menurut bahasa:
kebaikan. Mursalah: bebas, tidak terbatas, tidak terikat. Maslahah Mursalah:
kepentingan dan kebaikan yang diperoleh secara bebas. tori ini diilhami pada
suatu paham bahwa syari’ah Islam bertujuan memelihara agama, nyawa, akal,
keturunan/kehormatan, dan harta. Mendatangkan manfaat, kesejahteraan dan
kedamaian bagi kepantingan masyarakat dan mencegah kemahdlaratan. Tiga syarat
dalam ditetapkannya Maslahah Mursalah:
a.
Kepentingan tersebut sejalan
dengan jiwa syari’at dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
b.
Persoalan yang diijtihadkan harus
sesuatu yang menyinggung persoalan-persoalan kemanusiaan dan esemsi dari
maslahah itu harus masuk akal, sehingga bilamana dikemukakan pada ahlinya,
mereka akan mengakuinya.
Kepentingan
itu bersifat Dharuri, bukan Hajji dan bukan Tahsini.
Contoh: keputusan hukum yang didasarkan pada Maslahah Mursalah:
Contoh: keputusan hukum yang didasarkan pada Maslahah Mursalah:
a.
Pengenaan pajak bagi orang kaya
dan membiayai angkatan bersenjata dan melindungi Negara.
b.
Hukuman bagi tindak criminal
dengan mencabut kekayaan pelaku, jika tindak criminal ditopang oleh
kekayaannya.
Istihsan:
sembilan persepuluh ilmu. Istihsan yang dipakai oleh Imam Malik adalah
mendahulukan kehendak maslahah atas kehendak Qiyas, dilakukan karena rukhshah.
Contoh: Imam Malik membolhkan mengupah seorang pekerja dengan upah berupa
makanan selama bekerja, walaupun kadar makanan tidak ditentukan secara pasti.
3. Mazhab Syafi’i.
Mazhab Syafi'i (bahasa
Arab: شافعية , Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin
Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab ini
kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah,
Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar dan Bahrain.
Pemikiran fiqh mazhab
ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan antara aliran
Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur Ra'yi (cenderung
berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam
Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani
sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i
kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada
di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu
Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i
menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik.
Meskipun berbeda dari
kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul
fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut dan
kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Dasar-dasar Mazhab
Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm.
Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip
mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat
cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut :
1.
Al-Quran, tafsir
secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan
arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari
Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
2.
Sunnah dari
Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran.
Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir
As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
3.
Ijma' atau
kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam
suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah
ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu
terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
4.
Qiyas yang dalam
Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan
hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai
salah satu cara menetapkan hukum Islam.
4. Mazhab Hambali
Nama lengkapnya adalah
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani. Beliau lahir di kota
Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H (780 M), pada masa Khalifah
Muhammad al Mahdi dari Bani abbasiyyah ke III. Nasab beliau yaitu Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hajyan bin
Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzahal Tsa’labah
bin akabah bin Sha’ab bin Ali bin bakar bin Muhammad bin Wail bin Qasith bin
Afshy bin Damy bin Jadlah bin Asad bin Rabi’ah bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Jadi beliau serumpun dengan Nabi karena yang menurunkan Nabi adalah Muzhar bin
Nizar.Menurut sejarah beliau lebih dikenal dengan Ibnu Hanbal (nisbah bagi
kakeknya).
Beliau menuntut ilmu
dari banyak guru yang terkenal dan ahli di bidangnya. Misalnya dari kalangan
ahli hadits adalah Yahya bin Sa’id al Qathan, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin
Harun, sufyan bin Uyainah dan Abu Dawud ath Thayalisi. Dari kalangan ahli fiqh
adalah Waki’ bin Jarah, Muhammad bin Idris asy Syafi’i dan Abu Yusuf (sahabat
Abu Hanifah ) dll. dalam ilmu hadits, beliau mampu menghafal sejuta hadits
bersama sanad dan hal ikhwal perawinya.
Ibnu Qayyim al-Jazi’ah menyebutkan dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in Rabb al-‘Alamin bahwa fiqh Imam Ahmad bin Hambal dibangun atas lima landasan:
Ibnu Qayyim al-Jazi’ah menyebutkan dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in Rabb al-‘Alamin bahwa fiqh Imam Ahmad bin Hambal dibangun atas lima landasan:
1.
Nash
(al-Qur’an dan as-Sunnah) : Al-Qur’an dan as-Sunnah
ditempatkan sejajar pada peringkat prtama dalam urutan sumber hukum, alasannya
kehujjahan sunnah Nabi ditetapkan dengan al—Qur’an. Namun demikian, dalam
prakteknya sewaktu beliau menetapkan hukum, sunnah Nabi diletakkan pada jajaran
kedua setelah al-Qur’an. Berpegang teguh pada sunnah Nabi di samping al-Qur’an
dan mengabarkan segala bentuk pendapat yang berbeda dengannya, merupakan
prinsip yang sangat mendasar dalam pembentukan Mazhab Hambali. Didasarkan pada
sabda Nabi: “barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak datang dari
kami, maka amalan itu ditolak”.(HR. Ahmad bin Hambal dan Muslim). Maka fiqhnya
dikenal dengan fiqh sunnah.
2.
Fatwa Shabat
3.
Hadis
Mursal : dengan catatan bila hukum suatu masalah tidak
ditemukan dapat ditemukan dalam sumber-sumber tersebut sebelumnya.
4.
Hadis
Dlaif : dengan catatan hadis dlaif yang bertalian dengan
ihwal keutamaan amaliyah. Dan selama perawinya bukan disebabkan perawinya
pembohong. Dimaksudkan bahwa hadis dlaif yang tergolong shahih atau hasan.
Dalam pandangan Beliau, hadis hanya terbagi menjadi dua yaitu shahih dan dlaif.
Hadis dlaif ada bertingkat-tingkat, yang dimaksudkan di sini adalah hadis dlaif
yang ada pada tingkatan paling atas. Menggunakan hadis seperti ini lebih utama
dari pada menggunakan Qiyas.
5.
Qiyas
:
digunakan dalam keadaan darurat : Dibandingkan dengan mazhab-mazhab besar
lainnya, Mazhab Hambali lebih sedikit pengikutnya, menurut Manna al-Qattan:
karena banyak diantara tokoh pengikut Imam Ahmad yang menolak untuk diangkat
menjadi qadli/hakim, sehingga dalam perkembangannya tidak didukung oleh pihak
penguasa atau pemerintah. Mazhab Hambali menjadi maazhab resmi di Negara Saudi
Arabia yang menetapkan syari’at Islam secara utuh. Baik dalam bidang al-Ahwal
al-Syakhshiyyah, Hukum Perdata, Qishos, Hudud, (hukum zini, pecurian, dan
perampokan). Karya terbesar yang memuat Mazhab Hambali adalah kitab al-Jami’
al-Kabir karya Ahmad bin Muhammad al-Khalal (w. 311 H.). menurut abdul Aziz
Abdurrahman al-Sa’id, buku ini terdiri dari 200 juz, namun masih dalam bentuk
manuskrip yang tersimpan di perpustakaan Inggris.
B. Madzhab Sunni Yang Sudah Punah
Pengertian
mazhab yang telah punah di sini menurut ulama fiqh adalah mazhab tersebut tidak
memiliki tokoh dan pengikut yang fanatik, sekalipun ada sebagian pendapat
mazhab tersebut dianut sebagian ulama atau masyarakat, hal tersebut hanya
merupakan salah satu pendapat yang menjadi alternatif untuk menjawab kasus
tertentu. Selain itu, mazhab tersebut dinyatakan punah karena pendapatnya tidak
dibukukan sehingga tidak terpublikasikan secara luas, sehingga pengikutnya pun
tidak ada. Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang telah punah itu
antara lain sebagai berikut:
1. Mazhab al-Auza'i
Tokoh pemikirnya adalah
Abdurrahman al-Auza'i (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di
Syam (Suriah) yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai
salah seorang ulama besar Damascus yang menolak qiyas. Dalam salah satu riwayat
ia berkata: “Apabila engkau menemukan
sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkanlah seluruh
pendapat yang didasarkan kepada yang lainnya (selain Al-Qur'an dan sunnah Nabi
SAW).”
Mazhab al-Auza'i pernah
dianut oleh masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi'i menggantikannya. Mazhab ini
juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Mazhab Maliki berkembang di
sana. Pemikiran Mazhab al-Auza'i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa
literatur fiqh (tidak dibukukan secara khusus).
Pemikiran al-Auza'i
dapat dilihat dalam kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja'far Muhammad bin Jarir
ath-Thabari (w. 310 H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf
al-Fuqaha, dan dalam kitab al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi'i. Dalam al-Umm,
asy-Syafi'i mengemukakan perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan al-Auza'i,
serta antara Imam Abu Yusuf dan al-Auza'i. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir (ahli
fiqh dari Mesir), Mazhab al-Auza'i tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal
abad kedua Hijriyah.
2. Mazhab as-Sauri
Tokoh
pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri (w. 161 H./778 M.). Ia juga sezaman dengan
Imam Abu Hanifah dan termasuk salah seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi,
pengikut as-Sauri tidak banyak. Ia juga tidak meninggalkan karya ilmiah. Mazhab
ini pun tidak dianut masyarakat lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri,
yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia
adalah seorang mufti dalam Mazhab as-Sauri di Masjid al-Mansur, Baghdad.
3. Mazhab al-Lais bin Sa'ad
Tokoh pemikirnya adalah
al-Lais bin Sa'ad. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini telah punah dengan
masuknya abad ke-3 H. Fatwa hukum yang dikemukakan al-Lais yang sampai sekarang
tidak bisa diterima oleh ulama mazhab adalah fatwanya tentang hukuman berpuasa
berturut-turut selama dua bulan terhadap seorang pejabat di Andalusia yang
melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadhan.
Dalam fatwanya, al-Lais
tidak menerapkan urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam haditsnya
yang diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam hadits
itu dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri di siang
hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak. kalau tidak mampu
memerdekakan budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut
dan kalau tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka
memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang.
Al-Lais tidak
menerapkan hukuman pertama (memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa
akan dengan mudah memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan
preventif tidak tercapai. Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir
miskin bukanlah suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais
menetapkan hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut.
Menurutnya, hukuman
tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara'. Jumhur
ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash menentukan
bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut semestinya
adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan
berturut-turut. Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais,
menurut jumhur ulama adalah al-maslahah al-gharibah (kemaslahatan yang asing
yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh makna sejumlah
nash).
4. Mazhab ath-Thabari
Tokoh pemikirnya adalah
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310
H.). Menurut Ibnu Nadim (w. 385 H./995 M.; sejarawan), ath-Thabari merupakan
ulama besar dan faqih di zamannva. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal
sebagai muhaddits dan mufassir. Kitabnya di bidang tafsir masih utuh sampai
sekarang dan dipandang sebagai buku induk di bidang tafsir, yang dikenal dengan
nama Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an. Di bidang fiqh ath-Thabari juga
menulis sebuah buku dengan judul Ikhtilaf al-Fuqaha.
Dalam bidang fiqh,
ath-Thabari pernah belajar fiqh Mazhab Syafi'i melalui ar-Rabi bin Sulaiman di
Mesir, murid Imam asy-Syafi'i. Akan tetapi, tidak banyak ulama dan masyarakat
yang mengikuti pemikiran fiqh ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4 H mazhab
ini tidak mempunyai pengikut lagi.
5. Mazhab az-Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah
Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui
sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi Usul
al-Ahkam di bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.
Sesuai dengan namanya,
prinsip dasar mazhab ini adalah memahami nash (Al-Qur' an dan sunnah Nabi SAW)
secara literal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian
yang dimaksud dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah
tidak dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma'.
Ijma' yang mereka
terima adalah ijma' seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai
dengan pengertian ijma' yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut Muhammad
Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak kehujahan
ijma', karena ijma' seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang dikemukakan
Imam asy-Syafi'i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan, al-maslahah
al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra'yu (rasio
semata).
Dengan punahnya
mazhab-mazhab kecil ini, maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam
di berbagai wilayah Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki,
Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib
al-Arba'ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbedan pola fikir
yang menimbulkan bermacam-macam pendapat dalam kalangan umat Islam khususnya
perbedaan pendapat oleh tokoh-tokoh pembaharu Islam adalah sunnatullah yang tidak
dapat dipungkiri lagi. Sehingga muncul berbagai macam mazhab-mazhab,
diantaranya adalah mazhab-mazhab sunni yang masih berkembang sampai sekarang
atau pun yang sudah punah.
Kemunculan
mazhab-mazhab ini disebabkan munculnya para tokoh pebaharu yang degan ide
gagasannya tentang hukum Islam yang berlaku dalam suatu masyarakat, dimana hukum-hukum
itu dibuat suatu pegangan untuk beragama dan bermasyarakat. Para tokoh atau
imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan
lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori, dan kaidah-kaidah
ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum.
Dalam beristimbat,
mereka berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai landasan pokok
ketika berijtihad. Setelah itu mereka berpatokan pada metode-metode istimbat
seperti ijma’, Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalh, dan lain sebagainya. Semua
itu merupakan bahan pendukung ketika mereka berijtihat, apabila masalah hukum
tidak ditemukan atau masih global dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan hal itu
dibutuhkan suatu penelitian oleh para Imam Mazhab.
Dalam perkembangannya,
hanya ada empat mazhab sunni yang masih berkembang dalam masyarakat, yaitu
seperti yang telah disebutkan di atas, saat ini juga masih dipakai sebagai
rujukan di negara-negara muslim, seperti Timur Tengah dan di beberapa belahan
Asia khususnya.
B.
Saran
Dari hasil kesimpulan
di atas, perlu kiranya penulis dan pembaca memberikan saran konstruktif bagi proses
Rasioalitas masyarakat indonesia. Sangat naif sekali penulis dengan ringkasnya
mengampil poin-poin besar, padahal dalam perjalananya, para ulama’ membutuhkan
waktu berabad-abad.
DAFAR
PUSTAKA
Dahlan,
Abdul Aziz. 1996.Ensiklopedi Hukum Islam. Ichtian Baru: Jakarta.
Khallaf,
Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Dina Utama Semarang (Toha Putra group):
Semarang.
Yusuf,
Muhammad dkk. 2005. Fiqh & Ushul Fiqh. Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga:
Yogyakarta
Zahrah,
Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqih. Pustaka Firdaus: Jakarta
Zuhri,
Muh.1996. Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah. Rajagrafindo: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar