Kamis, 11 Februari 2016

ISLAM DAN GENDER Oleh : Husein Muhammad



Agama dan Keadilan Jender (Gender) dewasa ini menjadi salah satu issu penting yang masih terus diperdebatkan di banyak kalangan termasuk agamawan sendiri. Pertanyaan mendasar yang sering diajukan berkaitan dengan issu ini adalah apakah agama mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak social, budaya dan politik mereka?. Secara lebih elaboratif pertanyaan ini dapat dikembangkan menjadi : apakah kaum perempuan dalam pandangan agama memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil dengan kaum laki-laki baik dalam domain privat (domestik) maupun publik, misalnya menentukan pilihan pasangan hidupnya, mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan laki-laki, menjadi kepala keluarga atau menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil kebijakan publik lainnya dan seterusnya.

Islam dan Kesetaraan Gender


Sebagai agama Tauhid, Islam menegaskan bahwa kekuasaan, kekuatan dan kebesaran hanyalah milik Allah. Tuhanlah pemegang otoritas absolut atas seluruh eksistensi (al Mawjudat). Berdasarkan pandangan teologis ini agama ini (Islam) menafikan superioritas  manusia atas manusia yang lain atas dasar identitas kultural apapun. Pernyatan Tuhan paling fundamental tentang ini misalnya dikemukakan oleh al Qur-an dengan sangat tegas : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yng telah menciptakan kamu dari diri (entitas) yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.(Q.S. al Nisa, 1). Pada ayat lain disebutkan : “Hai manusia, Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu” (Q.S. al Hujurat, 13).

Dua ayat al Qur-an di atas dengan gamblang menegaskan doktrin egalitarianime (persamaan manusia) Islam, termasuk di dalamnya persamaan jenis kelamin dan menafikan diskriminasi yang diakibatkan oleh jenis kelamin, ras, suku, bangsa, warna kulit, teritorial dan sebagainya. Semua manusia dengan berbagai latarbelakangnya itu pada ujungnya berasal dari sumber yang tunggal ciptaan Tuhan. Keunggulan yang dimiliki manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek kedekatannya dengan Tuhan.

Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dinyatakan dalam al Qur-an surah al Ahzab, 35 : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuanyang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang  bersedekah, laki-laki dan perempuan  yang berpuasa, laki-laki dan perempuan  yang memlihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan  yang banyak  menyebut (nama) Allah, Allah telah menyedikan ampunan dan pahala yang besar”. Demikian juga dalam al Nahl, 97,  Ali Imran, 195, al Mukmin 40, dan lain-lain.

Doktrin egalitarianisme (al musawah) Islam di atas juga dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam salah satu sabdanya beliau mengatakan : “Manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non Arab, orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan”. Sabda beliau yang lain : “Sungguh, Allah tidak menilai kamu pada tubuh dan wajahmu melainkan pada tinfdakan dan hatimu”. Dan  “Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki”.

Pernyatan-pernyataan Nabi Saw di atas bukan tanpa bukti dalam realitas sosial waktu itu. Kaum perempuan seperti halnya kaum laki-laki dilibatkan dalam urusan-urusan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Aisyah adalah isteri Nabi yang sangat cerdas, guru besar para sahabat laki-laki, ahli sastra, hafal lebih dari 2000 hadits, seorang politisi dan panglima perang. Demikian pula sahabat perempuan yang lain. Sejarah Indonesia masa lalu juga mencatat sejumlah perempuan pejuang kemerdekaan dan menjadi ratu.

Sumber Bias Gender dalam Teks Agama


Realitas sosial, budaya dan politik yang memperlihatkan pandangan bias gender sebagaimana dikemukakan di awal sebenarnya bukan tanpa pijakan dari teks-teks keagamaan. Ada sejumlah teks yang dalam pembacaan skripturalistik (harfiyah) mudah difahami sebagai teks yang menjustifikasi superioritas laki-laki atas perempuan. Ayat al Qur-an surah al Nisa, 34 misalnya memposisikan laki-laki sebagai pemimpin atau kepala rumah tangga, karena kelebihan yang diberikan Tuhan kepadanya, yaitu potensi akal yang lebih unggul dari potensi akal perempuan dan karena dia pemberi nafkah keluarga. Dalam tafsir-tafsir klasik disebutkan bahwa kelebihan laki-laki tersebut merupakan sesuatu yang  jibilliyah, natur, hakiki atau kodrat.

 Meskipun ayat ini bicara dalam konteks domestik tetapi dalam banyak pandangan sarjana Islam (ulama) kemudian digeneralisasikan pada konteks publik. Akibatnya adalah bahwa perempuan bukan saja menjadi subordinat laki-laki dalam domain domestik melainkan juga dalam domain publik. Pada domain publik di mana perempuan tidak boleh menduduki posisi puncak pengambilan kebijakan publik dikukuhkan oleh hadits Nabi : “Tidak akan berjaya sebuah bangsa yang menyerahkan urusannya di tangan perempuan”.

Pada sisi lain pandangan yang tersosialisasikan selama ini meyakini bahwa proses penciptaan manusia perempuan berasal dari laki-laki. Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Ini juga merujuk pada sumber-sumber tafsir al Qur-an, baik dari hadits sendiri maupun pikiran keagamaan pemegang otoritas tafsir. Konsekuensinya, tugas utama perempuan (isteri) adalah melayani laki-laki (suami) tidak boleh menolak kehendak suami dan seterusnya.

Bagaimana menyelesaikannya


Uraian di atas telah melahirkan kesan pada kita tentang adanya dua teks keagamaan yang saling berhadapan (bertentangan). Padahal ini tidak mungkin terjadi, karena ia adalah Kalam Allah, kata-kata Tuhan. Adalah kesepakatan kaum muslim bahwa Tuhan tidak mungkin membuat pernyataan yang saling berlawanan. Maka adanya teks-teks keagamaan yang bias gender merupakan kesan yang harus dianalisis guna dicarikan pemecahannya dan diluruskan.

Keyakinan teologis kaum muslimin menegaskan bahwa Tuhan adalah Maha Adil dan tidak bertindak diskriminatif terhadap makhluk-Nya. Tuhan juga menyerukan manusia untuk bertindak adil terhadap sesama manusia. Ini dinyatakan dalam banyak ayat al Qur-an. (Baca : QS. Al Nisa, 58, al Maidah, 8, 42, al Nahl, 90, Yunus, 47, 54, al Hadid, 25 dsb). Pandangan ini merupakan norma universal dan menjadi inti dari sikap hidup keberagamaan dalam Islam, bahkan juga menjadi keyakinan semua agama-agama. Oleh karena itu prinsip ini harus menjadi alas fundamental bagi setiap pengambilan keputusan hukum dan aturan-aturan kehidupan. Keyakinan monoteistik Islam tersebut harus menjadi dasar utama dan menyeluruh bagi setiap hubungan antar manusia. Afirmasi monoteisme Islam meniscayakan hubungan persaudaraaan, kesetaraan, penghormatan martabat kemanusiaan dan keadilan. 

Teks-teks keagamaan tentang superioritas laki-laki atas perempuan (Q.S. Al Nisa, 34) adalah teks partikulatif. Ia bicara tentang satu hal tertentu yang terkait dengan konteks sosial-budaya. Terhadap teks jenis ini kita perlu menganilisisnya secara kontekstual (al siyaq al ijtima’i). Kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah sejalan dengan konteks budaya Arab saat itu. Demikian pula aspek-aspek yang mendasarinya, seperti keunggulan rasionalitas laki-laki dan fungsinya sebagai pencari nafkah keluarga. Konstruksi sosial-budaya Arab saat itu menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik dan laki-laki sebagai makhluk publik. Ini adalah realitas kebudayaan mainstream atau umum di sana dan bukannya realitas absolut. Ia disebut mainstream/umum dan tidak absolut, karena pada saat itu di sana sesungguhnya terdapat pula perempuan-perempuan yang melakukan peran-peran dan kerja-kerja sosial-ekonomi-budaya-publik-politik. Maka kepemimpinan laki-laki atas perempuan merupakan konstruksi sosial mainstream. Jika demikian, maka domestikasi perempuan bukanlah sesuatu yang kodrat. Sebab sesuatu yang kodrat adalah ketika ia bersifat tetap atau melekat, tidak bisa berubah-ubah atau diubah, tidak bisa berkembang atau dukembangkan dan tidak bisa dipertukarkan. Contoh yang kodrat adalah laki-laki mempunyai alat kelamin penis, dan perempuan vagina. Laki-laki punya seperma, perempuan punya ovum, perempuan menyusui, mengandung dan melahirkan, laki-laki tidak untuk semuanya. Kesimpulannya adalah bahwa domestikasi perempuan adalah konstruksi system social- budaya.

Jika keunggulan laki-laki atas perempuan tersebut merupakan konstruksi sistem sosial, maka ia tentu tidak berlaku dan tidak bisa diberlakukan secara tetap, melainkan tergantung pada perubahan-perubahan sosial yang berlangsung. Fakta-fakta sosial dewasa ini memperlihatkan kepada kita bahwa tidak sedikit perempuan yang memiliki keunggulan intelektual daripada laki-laki. Tidak sedikit juga perempuan yang memiliki kemampuan menghasilkan sumber ekonomi bagi keluarganya. Karena itu tidak sedikit perempuan yang memiliki kemampuan mengurus negara, menjadi politisi, hakim, direktur perusahaan dan sebagainya. Tidak sedikit pula perempuan yang memiliki kekuatan fisik lebih dibanding laki-laki. Keadaan-keadaan ini tampaknya akan terus bekembang hari demi hari. Relasi konstruksionis adalah nisbi dan terbuka untuk konstruksi baru.

Keterbukaan akses bagi perempuan untuk memasuki pendidikan yang lebih luas dan lebih tinggi ternyata telah memberinya kesempatan untuk menduduki posisi-posisi struktural maupun kultural di atas. Kenyataan ini pada saat sekarang ini memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat, meski belum cukup signifikan dibandingkan dengan angka populasi mereka.     

Menjadi jelas bahwa teks-teks keagamaan partikulatif memerlukan interpretasi ulang melalui analisis sosio-historis. Kajian lebih mendalam atas hal ini akan meniscayakan upaya-upaya takwil yang lebih luas. Takwil yang lebih luas adalah identik dengan apa yang sekarang disebut sebagai analisis hermeneutik. Analisis ini pada masa klasik Islam terutama pada abad 1-3 hijriyah berkembang sedemikian rupa sehingga melahirkan pandangan-pandangan keislaman yang hidup/dinamis. Tanpa upaya ini teks-teks keagamaan akan terus dilihat sebagai saling berhadapan dan akan terus terdesak oleh perubahan-perubahan yang tak terhindarkan dan tak dapat dibendung. Perubahan adalah keniscayaan sejarah. Tanpa langkah ini pula perempuan akan tetap menjadi makhluk subordinat dan termarjinalisasi dari ruang-ruang sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Hal ini tentu saja merupakan kerugian maha besar bagi pembangunan manusia.

Akhirnya


Melengkapi langkah yang bersifat teoritis berbentuk reinterpretasi ajaran agama di atas, adalah langkah-langkah praktis berupa sosialisasi keadilan jender, atau dalam bahasa yang kini populer, gender mainstreaming (pengarusutamaan jender).  Melalui langkah strategis ini, penyadaran akan berbagai bentuk ketidakadilan jender yang kini banyak terjadi di masyarakat, harus terus menerus dilakukan.  Demikian pula langkah-langkah taktis untuk meningkatkan peran publik perempuan, termasuk penempatan perempuan dalam simpul-simpul pengambil kebijakan publik.  Apalagi perempuan dalam fakta populasi kita hari ini  adalah setengah lebih dari populasi penduduk kita.  Alangkah lemahnya masyarakat kita jika ternyata setengah dari dirinya, dibuat tak berfungsi optimal hanya karena berbagai kendala-kendala budaya yang sesungguhnya bisa diupayakan perubahannya.  Sebaliknya, kita bisa banyak berharap jika ternyata kaum perempuan juga turut mengambil peranan dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, sebagaimana dulu dan kini dilakukan oleh kaum lelaki. Yang diperlukan kemudian adalah bagaimana kita dapat menyusun dan merumuskan tradisi, aturan-aturan dan perundang-undangan baru yang lebih transformatif dan yang menjadikan perempuan makhluk Tuhan yang tidak direndahkan, dilecehkan dan dimarjinalkan dalam siklus kehidupannya, apalagi menjadi obyek kekerasan manusia. Begitu arifnya Nabi SAW ketika beliau menyatakan : “Maa akrama al nisa illa karim, wa maa ahanahunna illa laim”/tidak memuliakan kaum perempuan kecuali orang yang terhormat, dan tidak merendahkan mereka kecuali orang yang berbudi rendah. Atau “ahsanaukukum ahsanukum li nisa-ihi” (yang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik bagi isterinya). Proyek kesetaraan Gender dengan begitu sesungguhnya dimaksudkan untuk mewujudkan tatanan sosial yang saling menghormati, sehat dan produktif. Lebih dari semuanya, perjuangan untuk menegakkan tatanan sosial yang adil dan tanpa kekerasan tersebut perlu dirumuskan dan diwujudkan dalam perundang-undangan nasional Indonesia. Wallahu a'lam bisshawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar