Agama dan Keadilan Jender (Gender) dewasa ini menjadi
salah satu issu penting yang masih terus diperdebatkan di banyak kalangan
termasuk agamawan sendiri. Pertanyaan mendasar yang sering diajukan berkaitan
dengan issu ini adalah apakah agama mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan
sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak social, budaya dan
politik mereka?. Secara lebih elaboratif pertanyaan ini dapat dikembangkan
menjadi : apakah kaum perempuan dalam pandangan agama memiliki hak untuk
mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil dengan kaum laki-laki
baik dalam domain privat (domestik) maupun publik, misalnya menentukan pilihan
pasangan hidupnya, mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan
laki-laki, menjadi kepala keluarga atau menjadi kepala negara/pemerintahan dan
pengambil kebijakan publik lainnya dan seterusnya.
Islam dan Kesetaraan Gender
Sebagai agama Tauhid, Islam menegaskan bahwa kekuasaan, kekuatan dan kebesaran hanyalah
milik Allah. Tuhanlah pemegang otoritas absolut atas seluruh eksistensi (al
Mawjudat). Berdasarkan pandangan teologis ini agama ini (Islam) menafikan
superioritas manusia atas manusia yang
lain atas dasar identitas kultural apapun. Pernyatan Tuhan paling fundamental
tentang ini misalnya dikemukakan oleh al Qur-an dengan sangat tegas : “Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yng telah menciptakan kamu dari
diri (entitas) yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan
dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.(Q.S.
al Nisa, 1). Pada ayat lain disebutkan : “Hai manusia, Kami ciptakan kamu
dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi
Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu” (Q.S. al Hujurat, 13).
Dua ayat al Qur-an di atas dengan gamblang menegaskan
doktrin egalitarianime (persamaan manusia) Islam, termasuk di dalamnya
persamaan jenis kelamin dan menafikan diskriminasi yang diakibatkan oleh jenis
kelamin, ras, suku, bangsa, warna kulit, teritorial dan sebagainya. Semua
manusia dengan berbagai latarbelakangnya itu pada ujungnya berasal dari sumber
yang tunggal ciptaan Tuhan. Keunggulan yang dimiliki manusia satu atas manusia
yang lain hanyalah pada aspek kedekatannya dengan Tuhan.
Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai kesetaraan
hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dinyatakan dalam al Qur-an
surah al Ahzab, 35 : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang
muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuanyang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan
yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memlihara kehormatannya,
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyedikan ampunan dan pahala yang besar”. Demikian juga dalam al Nahl,
97, Ali Imran, 195, al Mukmin
40, dan lain-lain.
Doktrin egalitarianisme (al musawah) Islam di atas
juga dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam salah satu sabdanya beliau
mengatakan : “Manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang
Arab atas non Arab, orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar
ketakwaan kepada Tuhan”. Sabda beliau yang lain : “Sungguh, Allah tidak
menilai kamu pada tubuh dan wajahmu melainkan pada tinfdakan dan hatimu”. Dan
“Kaum perempuan adalah saudara
kandung kaum laki-laki”.
Pernyatan-pernyataan Nabi Saw di atas bukan tanpa bukti
dalam realitas sosial waktu itu. Kaum perempuan seperti halnya kaum laki-laki
dilibatkan dalam urusan-urusan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan
kebudayaan. Aisyah adalah isteri Nabi yang sangat cerdas, guru besar para
sahabat laki-laki, ahli sastra, hafal lebih dari 2000 hadits, seorang politisi
dan panglima perang. Demikian pula sahabat perempuan yang lain. Sejarah
Indonesia masa lalu juga mencatat sejumlah perempuan pejuang kemerdekaan dan
menjadi ratu.
Sumber Bias Gender dalam Teks Agama
Realitas sosial, budaya dan politik yang memperlihatkan
pandangan bias gender sebagaimana dikemukakan di awal sebenarnya bukan tanpa
pijakan dari teks-teks keagamaan. Ada sejumlah teks yang dalam pembacaan
skripturalistik (harfiyah) mudah difahami sebagai teks yang menjustifikasi
superioritas laki-laki atas perempuan. Ayat al Qur-an surah al Nisa, 34
misalnya memposisikan laki-laki sebagai pemimpin atau kepala rumah tangga,
karena kelebihan yang diberikan Tuhan kepadanya, yaitu potensi akal yang lebih
unggul dari potensi akal perempuan dan karena dia pemberi nafkah keluarga.
Dalam tafsir-tafsir klasik disebutkan bahwa kelebihan laki-laki tersebut
merupakan sesuatu yang jibilliyah,
natur, hakiki atau kodrat.
Meskipun ayat ini
bicara dalam konteks domestik tetapi dalam banyak pandangan sarjana Islam
(ulama) kemudian digeneralisasikan pada konteks publik. Akibatnya adalah bahwa
perempuan bukan saja menjadi subordinat laki-laki dalam domain domestik
melainkan juga dalam domain publik. Pada domain publik di mana perempuan tidak
boleh menduduki posisi puncak pengambilan kebijakan publik dikukuhkan oleh
hadits Nabi : “Tidak akan berjaya sebuah bangsa yang menyerahkan urusannya di
tangan perempuan”.
Pada sisi lain pandangan yang tersosialisasikan selama
ini meyakini bahwa proses penciptaan manusia perempuan berasal dari laki-laki.
Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Ini juga merujuk pada
sumber-sumber tafsir al Qur-an, baik dari hadits sendiri maupun pikiran
keagamaan pemegang otoritas tafsir. Konsekuensinya, tugas utama perempuan
(isteri) adalah melayani laki-laki (suami) tidak boleh menolak kehendak suami
dan seterusnya.
Bagaimana menyelesaikannya
Uraian di atas telah melahirkan kesan pada kita tentang adanya
dua teks keagamaan yang saling berhadapan (bertentangan). Padahal ini tidak
mungkin terjadi, karena ia adalah Kalam Allah, kata-kata
Tuhan. Adalah kesepakatan kaum muslim bahwa Tuhan tidak mungkin
membuat pernyataan yang saling berlawanan. Maka adanya teks-teks keagamaan yang
bias gender merupakan kesan yang harus dianalisis guna dicarikan pemecahannya
dan diluruskan.
Keyakinan teologis kaum muslimin menegaskan bahwa Tuhan
adalah Maha Adil dan tidak bertindak diskriminatif terhadap makhluk-Nya. Tuhan
juga menyerukan manusia untuk bertindak adil terhadap sesama manusia. Ini
dinyatakan dalam banyak ayat al Qur-an. (Baca : QS. Al Nisa, 58, al
Maidah, 8, 42, al Nahl, 90, Yunus, 47, 54, al Hadid,
25 dsb). Pandangan ini merupakan norma universal dan menjadi inti dari sikap
hidup keberagamaan dalam Islam, bahkan juga menjadi keyakinan semua
agama-agama. Oleh karena itu prinsip ini harus menjadi alas fundamental bagi
setiap pengambilan keputusan hukum dan aturan-aturan kehidupan. Keyakinan
monoteistik Islam tersebut harus menjadi dasar utama dan menyeluruh bagi setiap
hubungan antar manusia. Afirmasi monoteisme Islam meniscayakan hubungan
persaudaraaan, kesetaraan, penghormatan martabat kemanusiaan dan keadilan.
Teks-teks keagamaan tentang superioritas laki-laki atas
perempuan (Q.S. Al Nisa, 34) adalah teks partikulatif. Ia bicara tentang satu
hal tertentu yang terkait dengan konteks sosial-budaya. Terhadap teks jenis ini
kita perlu menganilisisnya secara kontekstual (al siyaq al ijtima’i).
Kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah sejalan dengan konteks budaya Arab
saat itu. Demikian pula aspek-aspek yang mendasarinya, seperti keunggulan
rasionalitas laki-laki dan fungsinya sebagai pencari nafkah keluarga.
Konstruksi sosial-budaya Arab saat itu menempatkan perempuan sebagai makhluk
domestik dan laki-laki sebagai makhluk publik. Ini adalah realitas kebudayaan
mainstream atau umum di sana dan bukannya realitas absolut. Ia disebut
mainstream/umum dan tidak absolut, karena pada saat itu di sana sesungguhnya
terdapat pula perempuan-perempuan yang melakukan peran-peran dan kerja-kerja
sosial-ekonomi-budaya-publik-politik. Maka kepemimpinan laki-laki atas perempuan
merupakan konstruksi sosial mainstream. Jika demikian, maka domestikasi
perempuan bukanlah sesuatu yang kodrat. Sebab sesuatu yang kodrat adalah ketika
ia bersifat tetap atau melekat, tidak bisa berubah-ubah atau diubah, tidak bisa
berkembang atau dukembangkan dan tidak bisa dipertukarkan. Contoh yang kodrat
adalah laki-laki mempunyai alat kelamin penis, dan perempuan vagina. Laki-laki
punya seperma, perempuan punya ovum, perempuan menyusui, mengandung dan
melahirkan, laki-laki tidak untuk semuanya. Kesimpulannya adalah bahwa
domestikasi perempuan adalah konstruksi system social- budaya.
Jika keunggulan laki-laki atas perempuan tersebut
merupakan konstruksi sistem sosial, maka ia tentu tidak berlaku dan tidak bisa
diberlakukan secara tetap, melainkan tergantung pada perubahan-perubahan sosial
yang berlangsung. Fakta-fakta sosial dewasa ini memperlihatkan kepada kita
bahwa tidak sedikit perempuan yang memiliki keunggulan intelektual daripada
laki-laki. Tidak sedikit juga perempuan yang memiliki kemampuan menghasilkan
sumber ekonomi bagi keluarganya. Karena itu tidak sedikit perempuan yang
memiliki kemampuan mengurus negara, menjadi politisi, hakim, direktur
perusahaan dan sebagainya. Tidak sedikit pula perempuan yang memiliki kekuatan
fisik lebih dibanding laki-laki. Keadaan-keadaan ini tampaknya akan terus
bekembang hari demi hari. Relasi konstruksionis adalah nisbi dan terbuka untuk
konstruksi baru.
Keterbukaan akses bagi perempuan untuk memasuki
pendidikan yang lebih luas dan lebih tinggi ternyata telah memberinya
kesempatan untuk menduduki posisi-posisi struktural maupun kultural di atas.
Kenyataan ini pada saat sekarang ini memperlihatkan kecenderungan yang semakin
meningkat, meski belum cukup signifikan dibandingkan dengan angka populasi
mereka.
Menjadi jelas bahwa teks-teks keagamaan partikulatif
memerlukan interpretasi ulang melalui analisis sosio-historis. Kajian lebih
mendalam atas hal ini akan meniscayakan upaya-upaya takwil yang lebih luas.
Takwil yang lebih luas adalah identik dengan apa yang sekarang disebut sebagai
analisis hermeneutik. Analisis ini pada masa klasik Islam terutama pada abad
1-3 hijriyah berkembang sedemikian rupa sehingga melahirkan pandangan-pandangan
keislaman yang hidup/dinamis.
Tanpa upaya ini teks-teks keagamaan akan terus dilihat sebagai saling
berhadapan dan akan terus terdesak oleh perubahan-perubahan yang tak
terhindarkan dan tak dapat dibendung. Perubahan adalah keniscayaan sejarah.
Tanpa langkah ini pula perempuan akan tetap menjadi makhluk subordinat dan
termarjinalisasi dari ruang-ruang sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Hal
ini tentu saja merupakan kerugian maha besar bagi pembangunan manusia.
Akhirnya
Melengkapi langkah yang bersifat teoritis berbentuk reinterpretasi ajaran
agama di atas, adalah langkah-langkah praktis berupa sosialisasi keadilan
jender, atau dalam bahasa yang kini populer, gender mainstreaming
(pengarusutamaan jender). Melalui
langkah strategis ini, penyadaran akan berbagai bentuk ketidakadilan jender
yang kini banyak terjadi di masyarakat, harus terus menerus dilakukan. Demikian pula langkah-langkah taktis untuk
meningkatkan peran publik perempuan, termasuk penempatan perempuan dalam
simpul-simpul pengambil kebijakan publik.
Apalagi perempuan dalam fakta populasi kita hari ini adalah setengah lebih dari populasi penduduk
kita. Alangkah lemahnya masyarakat kita
jika ternyata setengah dari dirinya, dibuat tak berfungsi optimal hanya karena
berbagai kendala-kendala budaya yang sesungguhnya bisa diupayakan
perubahannya. Sebaliknya, kita bisa
banyak berharap jika ternyata kaum perempuan juga turut mengambil peranan dalam
membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, sebagaimana dulu dan kini
dilakukan oleh kaum lelaki. Yang diperlukan kemudian adalah bagaimana kita dapat
menyusun dan merumuskan tradisi, aturan-aturan dan perundang-undangan baru yang
lebih transformatif dan yang menjadikan perempuan makhluk Tuhan yang tidak
direndahkan, dilecehkan dan dimarjinalkan dalam siklus kehidupannya, apalagi
menjadi obyek kekerasan manusia. Begitu arifnya Nabi SAW ketika beliau
menyatakan : “Maa akrama al nisa illa karim, wa maa ahanahunna illa laim”/tidak
memuliakan kaum perempuan kecuali orang yang terhormat, dan tidak merendahkan
mereka kecuali orang yang berbudi rendah. Atau “ahsanaukukum ahsanukum li
nisa-ihi” (yang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik bagi isterinya).
Proyek kesetaraan Gender dengan begitu sesungguhnya dimaksudkan untuk
mewujudkan tatanan sosial yang saling menghormati, sehat dan produktif. Lebih
dari semuanya, perjuangan untuk menegakkan tatanan sosial yang adil dan tanpa
kekerasan tersebut perlu dirumuskan dan diwujudkan dalam perundang-undangan
nasional Indonesia. Wallahu a'lam bisshawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar