Kamis, 11 Februari 2016

PENERAPAN PENDEKATAN FEMINIS “Kajian atas Karya Sachio Murata, The Tao Of Islam”



A.      Penafsiran Sachiko Murata Tentang Relasi Gender dalam Islam
Posisi Sachiko Murata dalam penafsiran ini, sebenarnya lebih seperti sesosok pemeta pemikiran yang ada dalam teks-teks Islam. Sachiko Murata tidak bermaksud memaksakan analisisnya sendiri atas teks-teks tersebut. Sachiko Murata hanya ingin menggambarkan bagaimana para pemikir muslim sendiri berbicara tentang kompleksitas Yin dan Yang dengan menggunakan terminologi mereka sendiri dan bagaimana mereka sendiri menyadari bagaimana hubungan-hubungan itu berubah dengan adanya pergeseran perspektif.[1]
1.    Konsep Penciptaan Adam dan Hawa
Selanjutnya, Sachiko Murata menjelaskan mengenai penciptaan manusia dari tanah tersebut: “Ketika mengaduk dan mengolah tanah Adam, semua sifat setan, hewan dan binatang buas, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk mengejawantahkan sifat “Dua-tangan-Ku”.[2] Karenanya, masing-masing sifat tercela hanyalah sekedar kulit luar. Dalam setiap sifat itu ada mutiara dan permata berupa sebuah sifat Ilahi”.[3]
Kutipan diatas mengungkapkan, penghormatan agung yang umum diberikan orang orang muslim kepada ciptaan Allah. Bahwa manusia diciptakan dalam citra Allah yang diwujudkan sampai bentuk kerangka tubuh. Tanah, sekalipun terendah, punya tempat khusus dalam pandangan Allah.[4]
Dalam ajaran Tao, tanah adalah Yin, sehingga realitas Yin ini sangatlah terhormat. Prinsip umum ini bergema di segenap penjuru pemikiran Islam dan sudah tentu kembali pada fakta tadi, pada satu tataran, Tao Islam menuntut penghormatan yang sama untuk Yang dan Yin.
Kemudian, Sachiko Murata, membahas mengenai “Dua tangan” Allah. Menurutnya, sebagian dari ulasan-ulasan mengenai hakikat “dua tangan” Allah yang menciptakan telah dijumpai dalam literatur hadis Syiah. Meskipun perhatian utama Sachiko Murata bukanlah untuk menjawab atau menganalisis secara terinci makna “dua tangan” Allah. Melainkan melukiskan bagaimana para pemikir muslim mendeskripsikan hubungan-hubungan polar dalam Tuhan. Seorang sufi dan teolog terkenal Abu al-Qasim al-Qusyayri (w. 465 H/1072 M) menulis bahwa ayat ini menunjukkan bahwa apa yang ditemukan dalam diri Adam tidaklah ditemukan pada makhluk lainnya. Karena itu, karunia khusus (Allah) termanifestasikan dalam diri Adam.
Mufassir Syi’ah, Thabrisi (w. 548 H/ 1153 M), berpandangan bahwa Allah menyebut dua tangan untuk menekankan bahwa penciptaan Adam berasal dari dirinya. Thabrisi juga menyebutkan bahwa sebagian ulama menafsirkan dua tangan itu sebagai Allah memilih Adam untuk menciptakan dengan dua tangan itu sebagai mengacu kepada kekuasaan. Rasyid al-Din Maybudi menyatakan, bahwa maknanya ialah bahwa Allah memilih Adam untuk diciptakan dengan dua tangan guna “memuliakan” (Karamah)-Nya di antara segenap makhluk. Baydhawi (w. kira-kira 700 H/ 1300 M) menyatakan bahwa dua tangan itu menegaskan kekuasaan Allah dan kenyataan bahwa dia menciptakan Adam tanpa perantara apa-pun, seperti ayah dan ibu, atau hal ini menyinggung beragam aktivitas dalam penciptaan Adam.[5]
Selanjutnya, mengenai sebuah hadis “wanita diciptakan dari tulang rusuk”,[6] yang diidentikkan dengan penciptaan Hawa, Sachiko Murata dengan merujuk pada pendapat Ibn ‘Arabi, memberikan makna yang baru mengenai hadis ini. Tuhan membentuk di dalam tulang rusuk segala sesuatu yang telah dia bentuk dan ciptakan di dalam diri Adam. Maka konfigurasi tubuh Adam seperti yang dibentuk pengrajin tembikar tanah liat dan pembakaran. Namun konfigurasi tubuh Hawa seperti tukang kayu atas bentuk-bentuk yang diukirnya pada kayu itu. Ketika Dia mengukirnya pada tulang rusuk, menjadikan bentuknya, menetapkan proporsinya, dan memberikan keseimbangan kepadanya, Dia meniupkan ke dalam dirinya Ruh-Nya sendiri. Maka berdirilah seorang yang hidup, berbicara, seorang wanita. Maka Adam bersandar padanya, dan dia bersandar pada Adam. Dia adalah “pakaian” bagi Adam, dan Adam adalah “pakaian” bagi dirinya (QS. 2: 187).[7]
Karena itulah Hawa merupakan cabang dari Adam, yang mempunyai dua sifat, yakni sifat akarnya dan sifat aksidennya. Sehingga Hawa juga mempunyai sifat Yin dan Yang sekaligus. Kemudian Hawa menjadi isteri Adam. Semua realitas ciptaan adalah mendua, dapat dianggap Yin dan Yang tergantung pada sudut pandangnya.
Penjelasan Ibn ‘Arabi yang lain menolak gagasan bahwa tingkat pria itu berasal dari kenyataan bahwa Hawa tercipta dari Adam, sebagaimana yang terdapat dalam penafsiran Klasik. menurutnya pria mempunyai keunggulan atas wanita bukan karena Hawa tercipta dari Adam. Sebaliknya, tingkat pria atas wanita ada hubungannya dengan dominasi Yang dalam kasus pria dan Yin dalam kasus wanita. [8]
Selanjutnya, Murata berbicara soal kosmos. Tanpa kosmos, “Tuhan” bukanlah Tuhan, sebab ke-Ilahian didefinisikan setepatnya dalam pengertian kosmos. Ibn ‘Arabi menunjukkan sebuah hadis Nabi yang menjelaskan mengapa Allah menciptakan kosmos atau alam semesta: “Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu ‘an u’raf fa khalaqtu al-khalqa likay u’raf”, hadis qudsi yang menampilkan Tuhan sebagai “harta tersembunyi yang ingin dikenal”, menjadi titik utama di kalangan kaum muslim yang berkecenderungan mistik (yang dalam memandang Tuhan lebih menekankan pada sisi tasybîh). Tuhan biasanya dipandang dan dialami sebagai dia yang tidak membutuhkan sesuatu, al-Gani, “Yang bisa mencukupi diri-Nya sendiri, kaya”.
Namun, mitos yang berkembang mengenai nama-nama Ilahi yang ingin mewujudkan diri dan ingin tercermin di alam makhluk dan bahwa Tuhan dan manusia pada akhirnya saling tergantung. Dugaan ini sering terdapat dalam spekulasi-spekulasi mistik di dunia ini, Namun, dapat dimengerti, bertentangan dengan keyakinan kaum muslim tradisionalis yang mempertahankan kekuasaan tertinggi dan kecukupan diri Tuhan (yang lebih menekankan pada sisi Tanzih).
Penting untuk diperhatikan bahwasanya nama Adam menunjukkan pada manusia pertama, dan melalui perluasan makna, juga menunjuk pada setiap manusia. Al-Quran dan tradisi Islam secara umum menggunakan kata Adam sebagai sinonim kata insan (umat manusia).[9]
Kata diatas tidak menunjuk pada jenis pria sebagai lawan dari jenis wanita; kecuali sebagai lawan Eva (Hawa) yang disebutkan dalam konteks yang spesifik dan dipahami menunjuk kepada sifat-sifat yang membedakan dari orang-orang dari golongan Adam. Namun, Adam dan Hawa secara mudah berarti “seluruh umat manusia baik pria maupun wanita”.[10] Secara mistis, Adam berarti seluruh manusia. Dalam simbolis sufi, Adam adalah jiwa kita dalam diri kita, dan Hawa adalah manifestasi fisik.[11]
Pada akhirnya, menurut Sachiko Murata, mitos Adam dan Hawa dapat diterapkan dalam banyak hal. Misalnya, Ia memberi dasar rasional bagi cinta yang muncul antara seorang pria dan seorang wanita. Tetapi ia juga menjelaskan bahwa kedua cinta itu tidaklah identik, justru dikarenakan “tingkat” yang memisahkan kedua jenis kelamin itu. Hubungan hirarkhis yang terbangun oleh tingkat itu mendefinisikan sifat-sifat Yang dan Yin pada masing-masing pihak.[12]
Dalam hal ini cinta adalah suatu kekuatan yang bisa menjembatani jarak antara kaum pria dan kaum wanita dalam hubungan kekuasaan mereka. Bila cinta yang menjembatani jarak tersebut, maka pola hubungan kekuasaan yang mensubordinasi salah satu pihak, sangat mungkin bisa terhindarkan.
Dengan demikian pria dan wanita tidak perlu menjadi dua kutub yang berlawanan karena secara obyektif-pun. seorang pria juga memiliki unsur kewanitaan dalam dirinya (feminitas) dan sebaliknya seorang wanita juga memiliki unsur kelakian (maskulinitas) dalam dirinya demi sebuah keseimbangan atau harmoni bagi eksistensinya. Demikian pula sebaliknya kaum wanita yang mampu menjaga unsur maskulinitas dalam dirinya akan lebih sempurna sebagai sebuah pribadi. Lao-tzu dalam hal ini menegaskan bahwa keutuhan dan harmoni kepribadian seseorang adalah merupakan perimbangan sifat maskulin dan feminim dalam diri manusia.[13]

2. Derajat Pria atas Wanita
Salah satu ayat al-Quran yang paling terkenal, dan dalam kalangan tertentu menyandang nama buruk adalah ayat al-Quran 2: 228: “Kaum pria atau derajat lebih tinggi daripada mereka (kaum wanita)”. Bagian itu terdapat dalam sebuah ayat yang relatif panjang yang membicarakan tentang hukum-hukum perceraian.
Ayat yang memuat kalimat diatas menetapkan masa penantian seorang wanita setelah perceraian sebelum dia dapat menikah kembali. Tetapi mereka yang mengkajinya dengan cermat akan menganggapnya sebagai bukti yang jelas dari kekuatan kaum wanita yang menguasai masyarakat Islam. Sebaliknya, kaum wanita (sebagai Yin) mempunyai keunggulan dari kelemahannya yang relatif dan ketidakmampuan di bidang lahiriah. Jadi mereka tidak begitu berkecenderungan untuk membuat tuntutan yang tidak pada tempatnya. Mereka mempunyai keuntungan dari semacam sifat bawaannya sebagai hamba.
Dengan kata lain, suami mempunyai kewajiban untuk mengumpulkan kekayaan demi isterinya, dan isteri berkewajiban untuk melayaninya karena ini. Tetapi karena suami mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada mereka dalam keunggulan, sementara kaum wanita mendapatkan manfaat atau keistimewaan (maziyyah) dari kelebihan (da’f) dan ketidakmampuan yang mendasar (‘ajz al-Basyariyyah).
Sehingga menurut Sachiko Murata, dengan menyebut kelemahan wanita sebagai kelebihan,[14] berarti menyinggung suatu pandangan positif dari realitas Yin. Ini adalah pandangan khas dari suatu pendekatan terhadap al-Quran dengan mencari makna batinnya.
Sachiko Murata, dengan merujuk pada Ibn ‘Arabi, menjelaskan tentang keunggulan (derajat) kaum pria di atas kaum wanita dengan mengkaitkannya pada beberapa “hubungan” yang ada, pertama, dalam hubungan yang ditimbulkan melalui penciptaan Hawa melalui Adam. Kedua, Ibn ‘Arabi mengkaitkan ayat mengenai derajat yang lebih tinggi itu dengan keunggulan dari langit atas bumi. Ketiga, Ibn ‘Arabi menganggap tingkat pria di atas kaum wanita. mengingat kenyataan bahwa kosmis tidak akan pernah mencapai kedudukan Tuhan dikarenakan hubungan khusus yang terjalin di antara mereka: penerimaan kosmik dan aktivitas Ilahi.
Bayi, di mana ia merupakan lambang manusia yang tidak berdaya (Yin). Dia tidak bisa apa-apa, biasanya hanya menangis. Tapi justru dalam hubungan pria-wanita. Kaum wanita, sebagai Yin, dengan kelemahannya, pada akhirnya menuntut perhatian dari kaum pria (Yang).



B.       Telaah Atas Penafsiran Sachiko Murata tentang Relasi Pria dan Wanita dalam Islam.
Berbicara mengenai karya Sachiko Murata, yaitu The Tao of Islam, tidak bisa terlepas dari pembahasan tentang latar belakng penulisannya, yaitu; Pertama, Sachiko Murata berangkat dari pemahaman Tao untuk melihat terma-terma dalam ajaran-ajaran Islam.[15] Seperti telah kita ketahui bahwa “jalan setapak” adalah terjemahan yang sering diberikan kepada nama “Tao”.
Istilah Tao, sebenarnya tidak serta merta bisa dinamakan “jalan”.[16] Dalam sebuah karya sastra Cina Kuno, Tao Te Ching, di mana pengertian Tao dijabarkan, ditulis, “jalan” yang dapat digunakan sebagai jalan, bukan merupakan jalan yang kekal”, makna yang kurang lebih mirip dengan Tariq yaitu “jalan” spiritual dalam dunia sufisme. Begitu tingginya nilai spiritualitas Taoisme ini, sehingga menurut Sachiko Murata, Taoisme bisa menjadi “cermin” untuk sufisme, juga sebaliknya.[17]
Latar belakang pemikiran inilah, yaitu Tao, maka dalam kajian bukunya ini, Sachiko Murata membahas dalam tataran spiritual agama Islam, dan bukan dalam tataran syariah.[18] Islam merupakan suatu sistem sosial dan juga suatu spiritual, syari’ah dan juga Tariqah.[19] Jalan spiritual inilah yang kemudian melatarbelakangi Sachiko Murata banyak mengambil pandangan para ahli hikmah (demikian ia menyebut para kalangan sufi), seperti Ibn ‘Arabi, Surahwardi dan lain-lain, untuk memperkuat argumen dalam penafsirannya.
Kedua, Tao, dengan konsep Yin-Yang, merupakan ajaran yang menitikberatkan pandangannya pada aspek feminin (Yin). Tao juga merupakan suatu ajaran yang menekankan pada aspek feminin dalam ajarannya, yaitu dengan konsep The Great Mother-nya.[20] Sementara itu, dalam tasawuf juga banyak diwarnai oleh ciri-ciri feminin. Dua tokoh yang menonjol dalam tasawuf yaitu Ibn ‘Arabi dan Jalaluddin Rumi, keduanya mempunyai sikap yang sangat khas terhadap unsur wanita dan kadang-kadang menunjukkannya dalam citra-citra yang bertentangan.[21]
Hal tersebut menjadi perhatian dari Sachiko Murata, ia mengatakan bahwa mainstream Islam terlalu terfokus pada pemahaman syariah (ekoserik, ahli fiqh), yang menurutnya terlalu mengagumkan pada aspek maskulitas dalam memandang setiap permasalahan, atau dalam konteks Sachiko Murata adalah mengenai permasalahan relasi. Sementara aspek esoterik dalam Islam cenderung diabaikan. Aspek-aspek esoterik, yang menurut Sachiko Murata lebih menekankan pada aspek feminitas dalam memandang realitas. Bidang inilah yang berusaha dijelaskan Sachiko Murata dalam karya, “The Tao of Islam”. Dari sini Sachiko Murata, kemudian menemukan titik temunya pada pandangan-pandangan Ibn ‘Arabi, yang bila diamati secara mendalam pandangannya memiliki point-point persamaan dengan ajaran Tao.[22]
Mengenai ajaran Ibn ‘Arabi bahwa wanita sebagai citra Tuhan, Sachiko Murata mengingatkan bahwa Ibn ‘Arabi berbicara bukan sebagai seorang ahli pikir rasional, melainkan sebagai seorang ma’rifat yang sendirinya telah mencicipi realitas.[23] Sachiko Murata juga menjelaskan bahwa konteks ajaran ini merupakan petunjuk bagi sedikit orang yang mempunyai panggilan intelektual dan ruhani dalam mempraktekkannya. Untuk orang awam, Ibn ‘Arabi tidak mempunyai resep khusus di luar ajaran-ajaran Syariah mengenai hubungan manusia. Dengan kata lain, Ibn ‘Arabi menerima otoritas “patriarkhal” dari ajaran-ajaran Islam yang menekankan perbedaan dan kemustahilan Tuhan untuk diperbandingkan.[24]

1.    Relasi Pria dan Wanita
Wacana tentang eksistensi wanita tidak dapat dilepaskan dari persoalan hakekat (ontologi) kedua jenis kelamin (pria dan wanita) beserta sistem relasi di antara mereka. Jika mencoba merunut pemikiran yang berkembang dalam persoalan relasi pria dan wanita, setidaknya ada tiga aliran besar dalam persoalan relasi pria dan wanita.
Pertama, suatu aliran yang menganggap bahwa perbedaan peran antara wanita dan pria merupakan perbedaan alamiah yang sama sekali tidak perlu dipersoalkan. Ketika relasi ini dipersoalkan, justru akan terjadi keguncangan hubungan pria dan wanita itu sendiri.
Kedua, aliran pemikiran yang menganggap bahwa perbedaan peran antara wanita dan pria merupakan suatu harmonitas yang saling dukung-mendukung di antara kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh pria dan wanita.
Ketiga, aliran yang menganggap bahwa ketidakadilan yang disebabkan oleh para gender merupakan akibat dari relasi kuasa yang tidak seimbang antara wanita dan pria, dan cenderung menguntungkan si kuat dan merugikan si lemah.[25] Bagi Sachiko Murata, perbedaan peran antara pria dan wanita, bukan untuk saling menindas, melainkan merupakan mekanisme komplementer.
Sementara itu tak satupun tradisi yang dapat mengajukan dengan tepat persoalan yang sentral mengenai hubungan antara pria dan wanita dalam kehidupan religius dan sosial. Islam bukanlah kekecualian dalam hal ini. Sumber-sumber Islam penuh dengan penjelasan bernada kritik tentang kaum wanita. Kenyataan bahwa prinsip pria selalu menguasai, setidak-tidaknya dalam aspek-aspek praktis kehidupan, merupakan sesuatu yang sudah tak terelakkan dalam semua agama dan kebudayaan. Dalam Islam ajaran al-Quran yang sederhana telah ditafsirkan semakin sempit sejalan dengan berlalunya waktu.[26]
Dalam Islam, bila merujuk pada al-Quran dan hadis, terdapat tiga pola relasi di antara pria dan wanita, yaitu: Pertama, kaum pria mempunyai kedudukan yang lebih tinggi di atas kaum wanita. Hal ini didasarkan atas ayat al-Quran QS. 2: 228,[27] “bahwa kaum pria mempunyai satu derajat di atas kaum wanita”, dalam konteks ini dikaitkan dengan QS. 4:34, adalah pemberian nafkah suami kepada isterinya.
Kedua, tidak ada perbedaan antara kaum pria dan wanita, mereka setara dihadapan Allah. Ini didasarkan pada ayat al-Quran QS. 33: 35, ayat ini mengungkapkan bahwa dalam hal amal, profesi dan aktualisasi diri, kaum pria dan wanita adalah setara di hadapan Allah. Yang membedakan satu dengan yang lain adalah hirarkie ketakwaannya terhadap Allah, bukan jenis kelaminnya. Sachiko Murata dalam memahami ayat 33:35, sepakat dengan para mufassir lain, bahwa ayat ini menunjukkan adanya kesetaraan antara pria dan wanita, dengan memberikan argumentasi sebuah hadis, yaitu: “Kaum wanita adalah padanan kaum pria”.[28]
Ketiga, kaum wanita berada dalam posisi di atas kaum pria. Hal ini sebenarnya didasarkan pada hadis dari Nabi, yaitu bahwa “surga berada di bawah telapak kaki Ibu”,[29] dan juga hadis mengenai keutamaan seorang Ibu atas seorang ayah.[30]
Dalam relasi antara pria dan wanita, Sachiko Murata lebih cenderung memakai pendekatan konsep Yin-Yang untuk memahaminya.[31] Kaum pria adalah Yang, sehingga apabila dihadapkan dengan kaum wanita sebagai Yin, maka pria merupakan pihak yang aktif. Wanita bukan berarti bahwa wanita adalah pihak yang lebih inferior dari kaum pria. Satu hal yang harus diingat, bahwa setiap individu, baik pria maupun wanita mempunyai sisi Yin dan Yang dalam dirinya.
Sehingga, menurut Sachiko Murata, dengan kualitas Yin, wanita-pun dapat menundukkan kaum pria. Kesetaraan bukan berarti bahwa kaum wanita harus bersikap atau memiliki kaum pria, karena Tao berarti adanya saling melengkapi antara kekurangan satu dengan yang lain, misalnya, dalam rumah tangga, suami adalah kepala keluarga (QS. 4: 34), sebagai Yang, maka ia memberikan nafkah kepada sang isteri, sebagai Yin, yang tidak menutup kemungkinan terjadi sebaliknya.
Posisi diatas tergantung dari mana sudut pandangnya. Kaum pria dan kaum wanita sama-sama kurang dari yang lain dalam suatu tingkat tertentu, mereka justru menemukan kepuasan dan kelengkapan dari yang lain karena alasan itu. Atau dengan bahasa lain, Yin disebut Yin, karena adanya Yang. Begitu pula Yang disebut Yang, karena adanya Yin. Konsep Yin-Yang ini menyatakan bahwa keberlawanan itu bukan menuju pada penolakan yang satu atas yang lain, tapi lebih menuju pada saling tarik-menarik membentuk satu percampuran yang menyeluruh antara keduanya.
Bagi Sachiko Murata, pola relasi antara pria dan wanita adalah relasi komplementer, yang menganggap bahwa perbedaan antara pria dan wanita merupakan suatu harmonitas yang saling dukung-mendukung di antara kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh pria dan wanita. Pria adalah Yang, wanita sebagai Yin; ada siang ada malam, ada hitam ada putih, dalam Taoisme.
Dengan kata lain, segala sesuatu tidak dapat dipahami dalam bentuk tunggalnya yang berdiri sendiri, melainkan ia dapat dipahami dalam bentuk tunggalnya yang berdiri sendiri, melainkan ia dapat dipahami oleh karena keberadaan yang lainnya, yang merupakan kebalikannya.[32]
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa ada perbedaan antara pria dan wanita. Karena Allah telah berfirman, bahwa “kaum pria mempunyai atau derajat atas kaum wanita”, Sachiko Murata memahami “derajat” itu sebagai yang bersifat ontologis (wujudi), yang tidak akan hilang. Sachiko Murata menganalogkan ketinggian derajat antara pria dan wanita ini seperti halnya, tingginya derajat Tuhan atas makhluknya, atau lebih tingginya langit atas bumi (dalam perspektif Yin-Yang, langit adalah Yang (pihak yang memberi) dan bumi adalah Yin (pihak yang menerima). Sehingga, “derajat di sini, bukan hanya berhenti dalam tataran realitas, di mana seorang suami memberikan nafkah kepada sang isteri.
Namun bagi Sachiko Murata, “derajat” ini mengandung makna yang lebih mendalam jika ditinjau dari sudut pandang ta’wil-nya, yaitu yang memandang hubungan metakosmos (Tuhan), makrokosmos (alam), dan mikrokosmos (manusia).[33] Menurut Sachiko Murata “derajat” itu tetap terdapat antara pria dan wanita, namun ketika bersinggungan dengan kehendak Tuhan, Tuhan melakukan apa yang diinginkannya, bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya.
Keadaan diatas bukan berarti bertentangan dengan point pertama, karena Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, maka secara logika dan metafisika terdapat unsur pembeda yang membedakan satu anggota pasangan dari anggota yang lain, karena kalau saja keduanya sama dalam segala hal niscaya mereka identik. Karena itu perlu ada satu perbedaan di antara keduanya. Pria maupun wanita dicipta untuk tujuan kebakaan dan spiritual.
Namun demikian, di bawah tingkat itu, terdapat perbedaan-perbedaan di antara keduanya yang realitasnya tidak mungkin diabaikan atas nama egalitarisme yang manapun. Menurut Sachiko Murata, pemikiran masyarakat Islam terhadap pola relasi pria dan wanita dipengaruhi oleh cara pendekatan mereka tentang realitas Ilahi, dengan Tanzîh dan Tasybîh.
Kontras antara dua pendekatan dalam mendekati realitas ini tercermin dalam seluruh pemikiran dan masyarakat Islam. Mereka yang menekankan kejauhan dan kekhasan Allah (Tanzîh) cenderung berkutat di dunia kemajemukan dan perbedaan. Mereka menekankan perbedaan realitas individual, dan realitas dari segala perbedaan. Sebaliknya, mereka yang menekankan keserupaan, kedekatan Allah (Tasybîh), lebih suka berkutat pada kemantapan kesatuan dan antara hubungan. Segala perbedaan bersifat relatif dan bisa dihapuskan dengan memakai satu sudut pandang yang berbeda.[34]
Sebuah masyarakat yang terlalu menekankan sifat Agung Tuhan (maskulin), Tuhan yang tidak terjangkau, maka masyarakat tersebut cenderung terlalu menekankan hukum-hukum dan syariat. Hal ini tercermin pada prilaku sosial masyarakat yang keras, dan terlalu menekankan kekuasaan dan hukum. Kadar kualitas patriarkhal dalam praktik kehidupan bermasyarakat adalah sangat tinggi, dan rendah kadar kualitas matriarkhal.
Namun masyarakat yang menginternalisasikan Tuhan sebagai yang dekat dan pengasih (feminin), dalam masyarakat kehidupan sosialnya penuh toleransi dan mementingkan keharmonisan sosialnya.[35] Bangunan relasi antar-manusia harusnya mengendepankan asas persamaan hak dan kewajiban yang sama antara pria dan wanita.
Artinya, sebagai prinsip pertama, relasi pria dan wanita tidak mengenal adanya perbedaan kedudukan, karena baik pria maupun wanita tidak boleh merendahkan satu sama lain. Prinsip persamaan hak berarti memberi peluang sama pada pria dan wanita untuk memperoleh hak-hak politik, pendidikan, waris, dan lain-lain.
Prinsip kedua adalah kemerdekaan atau kebebasan. Prinsip kebebasan berarti memberikan otonomi penuh kepada setiap manusia, baik pria dan wanita dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Prinsip ketiga adalah persaudaraan. Antara pria dan wanita merupakan kesatuan penting dalam hubungan kemanusiaan. Prinsip keempat adalah keadilan. Dalam tataran sosial, keadilan harus menjadi landasan relasi antar manusia. Berpijak pada semangat ini, berarti hubungan antara pria dan wanita harus memberikan ruang yang adil bagi keduanya.
Perbedaan antara pria dan wanita sebagai akibat dari perbedaan biologis tidak harus membawa konsekuensi pada perbedaan yang adil, sehingga menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.[36] Pada akhirnya, pemahaman Sachiko Murata mengenai relasi pria dan wanita ini menimbulkan beberapa catatan besar yang perlu dikritisi, yaitu:
Pertama, Konsep Yin-Yang, yang disodorkan Sachiko Murata, memberikan penjelasan bahwa Yin adalah pihak yang pasif, sementara Yang adalah pihak yang aktif. Hal ini mengesankan tidak ada kejelasan posisi dalam konsep relasi pria dan wanita. “Apakah pria (sebagai Yang) mempunyai posisi yang lebih tinggi dari wanita (sebagai Yin), ataukah wanita yang lebih tinggi dari pria, ataukah mereka sebenarnya seimbang?
Prinsip relasi komplementer mengenai kelemahan dan kelebihan peran masing-masing yang disandang oleh seorang pria dan wanita, apakah bisa dijadikan pegangan, ketika mengenai pembagian “peran” itu sendiri masih menimbulkan pertanyaan, apakah ia sudah mencerminkan adanya keadilan di dalamnya ataukah belum ?. Ini yang belum dijawab oleh Sachiko Murata.
Kedua, kemudian Sachiko Murata inipada akhirnya hanyalah seperti satu bentuk romantisasi-spiritual, hanya berkutat dalam dunia yang seakan tidak nyata, merupakan pandangan yang sangat “romantis’ dan penuh dengan visi spiritualitas yang tinggi. Pandangan-pandangannya tidak bisa diterapkan dalam realitas kehidupan. Meskipun Sachiko Murata mengakui bahwa ia tidak menawarkan suatu jawaban apakah wanita muslim lebih tertindas dibandingkan wanita yang lain atau tidak. Namun, yang Sachiko Murata pertahankan adalah bahwa secara umum peran wanita dalam Islam tradisional konsisten dengan pandangan dunia Islam.


[1] Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti, MS. Nasrullah, Mizan, Bandung, 1996, h. 134.
[2] Ibn “Arabi melihat sifat-sifat Ilahi yang berkaitan dengan ketakbandingan dan keserupaan sebagai makna penting dari kedua tangan itu. Sachiko Murata. h. 131.
[3] Ibid., h. 68.
[4] Sachiko Murata, dengan merujuk pada Razi, memaparkan kebingungan para malaikat yang diutus oleh Allah untuk mengumpulkan tanah untuk menciptakan Adam, malaikat begitu terheran-heran: “Rahasia macam apa ini? Bumi yang hina dina dipanggil ke Hadirat Zat Maha Tak Terjangkau dengan segenap kehormatan dan kemuliaan”. Namun kelembutan Ilahi dan kebijakan Tuhan berbisik lembut ke dalam relung rahasia dan misteri malaikat, “Aku tahu apa yang tidak kalian ketahui”, (QS. 2: 30).
[5] Ibid., h.122-126.
[6] Hadis ini terdapat dalam dua kitab Sahîh. Dalam kitab Bukhari dan Muslim terdapat enam hadis. Dua hadis menggunakan lafal من ضلع , yang berarti yaitu “dari tulang rusuk” (dalamSahîh al-Bukhâri, jilid III, h. 145, danm sahih Muslim, juz 10, h. 57, sementara empat hadis menggunakan lafal آان ضلع yang berarti yaitu, “seperti tulang rusuk”, (dalam Sahîh al-Bukhâri, jilid II, hlm. 103 dan jilid II, h. 145, serta Sahîh Muslim, juz 10, h. 57).
[7] Sachiko Murata, h. 244
[8] Sachiko Murata, h. 242-254.
[9] Al-Quran menggunakan istilah al-insân, saat menggambarkan proses penciptaan manusia selektif untuk mengacu pada manusia hanya apabila mereka representasi manusia yang sadar diri, berpengetahuan, dan otonom secara moral. Fatima Mernissi, Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, Terj. Tim LSPPA, LSPPA, Yogjakarta, 2000, h. 59.
[10] Sachiko Murata, William C. Chittick, Trilogi Islam (Islam, Iman dan Ihsan), terj. Ghufron A. Mas’adi, PT. Raja Grafindo Persada, 1997, h. 179.
[11] Lyn Wilcox, Wanita dan al-Quran dalam Persektif Sufi, terj. DICTIA, Pustaka Hidayah, Bandung, 2001, h. 58.
[12] Sachiko Murata, The Tao... h. 243.
[13] FX. Rudy Gunawan, Mendobrak Tabu Sex, Kebudayaan dan Kebejatan Manusia, Galang Press, Yogjakarta, 2000, h. 112 –114.
[14] Nurul Agustina, Nurullah Ali Fauzi (ed), “Perempuan dalam Perbincangan”, dalam Ulumul Quran, NO. V dan VI, Vol. V, 1994, h. 50.
[15] Sachiko Murata, “Pengalaman Saya Mengajar Islam di Barat”, dalam Ulumul Quran, Nomor 2, Vol. V, 1994, h. 48-52.
[16] Ada tiga cara untuk memahami “jalan” ini, pertama, Tao adalah “jalan dari kenyataan terakhir”. Tao ini tidak dapat dirangkap karena ia melampui jangkauan pancaindera. Ia melebihi semua pemikiran dan khayalan. Dengan sifatnya yang maha besar dan trasenden, Tao yang paling agung ini adalah dasar bagi semua yang ada. Walaupun pada akhirnya Tao itu transenden, tapi ia sekaligus juga imanen. Dalam hal kedua inilah ia merupakan “jalan alam semesta”, sebagai akidah, yang ada. Walaupun di belakang, ia sekaligus juga berada di tengah tengah yang ada itu sendiri, karena jika Tao mengambil bentuk yang kedua ini, ia “meninggal wujud fana” dan memberi tahu segala sesuatu. Dalam arti yang ketiga, Tao menunjuk pada “jalan bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya”, agar selaras dengan cara kerja alam semesta ini. Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 233.
[17] Budhy Munawar Rachmat, “New Age Gagasan-gagasan Mistik-Spiritual Dewasa Ini”, dalam, Muhammad Wahyuni Nafis (ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996, h. 45 – 79.
[18] Sebagaimana dijelaskan diawal, bahwa Sachiko Murata menganologkan Tao dengan ajaran ahli Hikmah (ma’rifat), sementara Confusionis dianalogkan dengan ajaran syariah. Titik pusat perhatian Konfusius selalu pada manusia, sedangkan Lao-tzu memperhatikan apa yang ada dibalik manusia itu. Huston Smith, Op. Cit., hlm. 251. Meskipun kemudian, mengenai Tao atau Yin-Yang. Itu adalah pemahaman yang agak tergeneralisir atas istilah-istilah itu. Sachiko Murata menyadari bahwa dalam kenyataan aktualnya ada perbedaan pandangan yang besar dengan berbagai persoalan ini dalam sejarah Cina, tetapi Sachiko Murata tidak terlalu menonjolkan perbandingan-perbandingan yang dibuatnya. Sachiko Murata, The Tao of Islam…..(Op. Cit.), h. 28.
[19] Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Pustaka, Bandung, 1994 , h. 45.
[20] Tao disebut dengan sang “Ibu”, “kegelapan”, “misteri”. Segala hal yang ada di dunia berasal dari rahim sang “Ibu”. Dia adalah pintu gerbang bagi segala sesuatu (ciptaan) yang ingin memasuki dunuia nyata.
[21] Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita Aspek Feminin dalam Spiritual Islam, terj. Rahmani Astuti, Mizan, Bandung, 1998, h. 50.
[22] Pemilihan sumber inipun sebenarnya bukan tanpa alasan, Ibn ‘Arabi misalnya, beliau adalah, termasuk dalam kelompok filosof-tasawuf, yang beliau benar-benar memakai bahasa simbol dalam pengungkapan pandangannya, dan juga beliau adalah seorang tokoh yang menyatakan bahwa aspek feminin merupakan bentuk di mana Tuhan paling dapat dikenal. Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah…, h. 149.
[23] Sachiko Murata, The Tao of Islam…, h. 256.
[24] Ibid., h. 264.

[25] Mansour Fakih, “Isu-Isu dan Manifestasi Ketidakadilan Gender”, dalam Mukhatib MD. (ed) Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender, PMII-INPI Pact, Yogjakarta, 1998, h. 6.
[26] Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita..., , h. 241.
[27] Ayat ini menimbulkan berbagai penafsiran di kalangan ulama muslim, bila dikaitkan dengan ayat-ayat mengenai kepemimpinan (QS. 4:34), dan penciptaan manusia (QS. 4:1) mengesankan adanya inferioritas kaum wanita.
[28] Abi Isa Muhammad Ibn Abi Surah, Sunan at-Tirmidzi.
[29] Sebuah hadis yang menunjukkan betapa tingginya derajat ibu seharusnya dipandang oleh anak, pria maupun wanita.
[30] Nabi bersabda, “Nabi ditanya, “di antara semua orang, siapakah yang paling pantas menerima kebaikan cinta kasih (birr) ?”. dia bertanya lagi, “setelah itu siapa ? Nabi berkata, “Ibumu. Setelah itu baru ayahmu’. (Sahih al-Bukharî juz. VII, h. 69., Sahih muslim, Juz. VIII, h. 2).
[31] Sachiko Murata, The Tao of Islam...,  h. 109.
[32] Dalam Yin-Yang, setiap prinsip selalu menghasikan hal yang lain, sehingga segala kejadian alam mengandung potensi yang berlawanan dengan dirinya, misal, dalam sakit ada sehat, begitu pula sebaliknya.
[33] Bagi Sachiko Murata, hirarkhi itu tidak buruk, sebab ia sudah menjadi realitas. Sachiko Murata berusaha untuk menempatkan hirarkhi itu pada tempatnya dengan menjelaskan hubunganhubungan itu dalam pemikiran Islam sebab premis Islam adalah shahabat : yang berimplikasi pada Tauhid, juga menunjukkan adanya hirarkhi, antara Tuhan dan makhluknya. Sehingga apabila hirarkhi ini dihapuskan berarti juga menghancurkan Tauhid. Sachiko Murata, The Tao of Islam..., , h. 416.
[34] Sachiko Murata, The Tao of Islam...,  h. 31.
[35] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, h. 230. Meskipun demikian, penisbatan sifat-sifat kepada Tuhan, menciptakan citra Tuhan disertai sifat-sifat fana dengan, misalnya, menerapkan gender, semuanya itu tidak berlaku bagi Allah. sebab, hanya ada satu Tuhan, yakni Allah (QS. 53: 21-23). Tuhan melampui gender yang menjadi karakteristik makhluk, bukan Tuhan. Penerapan gender kepada Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Ihwal apakah gender yang dinisbatkan itu feminin atau maskulin tidaklah relevan. Menisbatkan gender kepada Allah tidaklah tepat, karena Dia Maha Esa dan Maha Tunggal. Lynn, Wanita dan Al-Quran..., h. 144.
[36] Siti Musdah Mulia, Marzani Anwar (ed), Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam, DEPAG RI, Jakarta, 2001, h. 45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar