A.
Penafsiran Sachiko Murata Tentang Relasi Gender dalam Islam
Posisi Sachiko Murata dalam penafsiran ini, sebenarnya lebih
seperti sesosok pemeta pemikiran yang ada dalam teks-teks Islam. Sachiko Murata
tidak bermaksud memaksakan analisisnya sendiri atas teks-teks tersebut. Sachiko
Murata hanya ingin menggambarkan bagaimana para pemikir muslim sendiri
berbicara tentang kompleksitas Yin dan Yang dengan menggunakan terminologi
mereka sendiri dan bagaimana mereka sendiri menyadari bagaimana
hubungan-hubungan itu berubah dengan adanya pergeseran perspektif.[1]
1.
Konsep Penciptaan Adam dan Hawa
Selanjutnya, Sachiko Murata menjelaskan mengenai penciptaan
manusia dari tanah tersebut: “Ketika mengaduk dan mengolah tanah Adam, semua
sifat setan, hewan dan binatang buas, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati
diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk mengejawantahkan sifat
“Dua-tangan-Ku”.[2] Karenanya, masing-masing sifat
tercela hanyalah sekedar kulit luar. Dalam setiap sifat itu ada mutiara dan permata
berupa sebuah sifat Ilahi”.[3]
Kutipan diatas mengungkapkan, penghormatan agung yang umum
diberikan orang orang muslim kepada ciptaan Allah. Bahwa manusia diciptakan
dalam citra Allah yang diwujudkan sampai bentuk kerangka tubuh. Tanah,
sekalipun terendah, punya tempat khusus dalam pandangan Allah.[4]
Dalam ajaran Tao, tanah adalah Yin, sehingga
realitas Yin ini sangatlah terhormat. Prinsip umum ini bergema di
segenap penjuru pemikiran Islam dan sudah tentu kembali pada fakta tadi, pada
satu tataran, Tao Islam menuntut penghormatan yang sama untuk Yang dan
Yin.
Kemudian, Sachiko Murata, membahas mengenai “Dua tangan” Allah. Menurutnya,
sebagian dari ulasan-ulasan mengenai hakikat “dua tangan” Allah yang
menciptakan telah dijumpai dalam literatur hadis Syiah. Meskipun perhatian
utama Sachiko Murata bukanlah untuk menjawab atau menganalisis secara terinci
makna “dua tangan” Allah. Melainkan melukiskan bagaimana para pemikir muslim
mendeskripsikan hubungan-hubungan polar dalam Tuhan. Seorang sufi dan teolog
terkenal Abu al-Qasim al-Qusyayri (w. 465 H/1072 M) menulis bahwa ayat ini
menunjukkan bahwa apa yang ditemukan dalam diri Adam tidaklah ditemukan pada
makhluk lainnya. Karena itu, karunia khusus (Allah) termanifestasikan dalam
diri Adam.
Mufassir Syi’ah, Thabrisi (w. 548 H/ 1153 M), berpandangan bahwa Allah
menyebut dua tangan untuk menekankan bahwa penciptaan Adam berasal dari
dirinya. Thabrisi juga menyebutkan bahwa sebagian ulama menafsirkan dua tangan
itu sebagai Allah memilih Adam untuk menciptakan dengan dua tangan itu sebagai
mengacu kepada kekuasaan. Rasyid al-Din Maybudi menyatakan, bahwa maknanya
ialah bahwa Allah memilih Adam untuk diciptakan dengan dua tangan guna
“memuliakan” (Karamah)-Nya di antara segenap makhluk. Baydhawi (w.
kira-kira 700 H/ 1300 M) menyatakan bahwa dua tangan itu menegaskan kekuasaan
Allah dan kenyataan bahwa dia menciptakan Adam tanpa perantara apa-pun, seperti
ayah dan ibu, atau hal ini menyinggung beragam aktivitas dalam penciptaan Adam.[5]
Selanjutnya, mengenai sebuah hadis “wanita diciptakan dari tulang rusuk”,[6]
yang diidentikkan dengan penciptaan Hawa, Sachiko Murata dengan merujuk pada
pendapat Ibn ‘Arabi, memberikan makna yang baru mengenai hadis ini. Tuhan
membentuk di dalam tulang rusuk segala sesuatu yang telah dia bentuk dan
ciptakan di dalam diri Adam. Maka konfigurasi tubuh Adam seperti yang dibentuk
pengrajin tembikar tanah liat dan pembakaran. Namun konfigurasi tubuh Hawa
seperti tukang kayu atas bentuk-bentuk yang diukirnya pada kayu itu. Ketika Dia
mengukirnya pada tulang rusuk, menjadikan bentuknya, menetapkan proporsinya,
dan memberikan keseimbangan kepadanya, Dia meniupkan ke dalam dirinya Ruh-Nya
sendiri. Maka berdirilah seorang yang hidup, berbicara, seorang wanita. Maka
Adam bersandar padanya, dan dia bersandar pada Adam. Dia adalah “pakaian” bagi Adam,
dan Adam adalah “pakaian” bagi dirinya (QS. 2: 187).[7]
Karena itulah Hawa merupakan cabang dari Adam, yang mempunyai dua
sifat, yakni sifat akarnya dan sifat aksidennya. Sehingga Hawa juga mempunyai
sifat Yin dan Yang sekaligus. Kemudian Hawa menjadi isteri Adam.
Semua realitas ciptaan adalah mendua, dapat dianggap Yin dan Yang
tergantung pada sudut pandangnya.
Penjelasan Ibn ‘Arabi yang lain menolak gagasan bahwa tingkat pria
itu berasal dari kenyataan bahwa Hawa tercipta dari Adam, sebagaimana yang terdapat
dalam penafsiran Klasik. menurutnya pria mempunyai keunggulan atas wanita bukan
karena Hawa tercipta dari Adam. Sebaliknya, tingkat pria atas wanita ada
hubungannya dengan dominasi Yang dalam kasus pria dan Yin dalam
kasus wanita. [8]
Selanjutnya, Murata berbicara soal kosmos. Tanpa kosmos, “Tuhan”
bukanlah Tuhan, sebab ke-Ilahian didefinisikan setepatnya dalam pengertian
kosmos. Ibn ‘Arabi menunjukkan sebuah hadis Nabi yang menjelaskan mengapa Allah
menciptakan kosmos atau alam semesta: “Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu
‘an u’raf fa khalaqtu al-khalqa likay u’raf”, hadis qudsi yang
menampilkan Tuhan sebagai “harta tersembunyi yang ingin dikenal”, menjadi titik
utama di kalangan kaum muslim yang berkecenderungan mistik (yang dalam
memandang Tuhan lebih menekankan pada sisi tasybîh). Tuhan biasanya
dipandang dan dialami sebagai dia yang tidak membutuhkan sesuatu, al-Gani,
“Yang bisa mencukupi diri-Nya sendiri, kaya”.
Namun, mitos yang berkembang mengenai nama-nama Ilahi yang ingin
mewujudkan diri dan ingin tercermin di alam makhluk dan bahwa Tuhan dan manusia
pada akhirnya saling tergantung. Dugaan ini sering terdapat dalam spekulasi-spekulasi
mistik di dunia ini, Namun, dapat dimengerti, bertentangan dengan keyakinan
kaum muslim tradisionalis yang mempertahankan kekuasaan tertinggi dan kecukupan
diri Tuhan (yang lebih menekankan pada sisi Tanzih).
Penting untuk diperhatikan bahwasanya nama Adam menunjukkan pada
manusia pertama, dan melalui perluasan makna, juga menunjuk pada setiap
manusia. Al-Quran dan tradisi Islam secara umum menggunakan kata Adam sebagai
sinonim kata insan (umat manusia).[9]
Kata diatas tidak menunjuk pada jenis pria sebagai lawan dari
jenis wanita; kecuali sebagai lawan Eva (Hawa) yang disebutkan dalam
konteks yang spesifik dan dipahami menunjuk kepada sifat-sifat yang membedakan
dari orang-orang dari golongan Adam. Namun, Adam dan Hawa secara mudah berarti
“seluruh umat manusia baik pria maupun wanita”.[10]
Secara mistis, Adam berarti seluruh manusia. Dalam simbolis sufi, Adam adalah
jiwa kita dalam diri kita, dan Hawa adalah manifestasi fisik.[11]
Pada akhirnya, menurut Sachiko Murata, mitos Adam dan Hawa dapat diterapkan
dalam banyak hal. Misalnya, Ia memberi dasar rasional bagi cinta yang muncul
antara seorang pria dan seorang wanita. Tetapi ia juga menjelaskan bahwa kedua
cinta itu tidaklah identik, justru dikarenakan “tingkat” yang memisahkan kedua
jenis kelamin itu. Hubungan hirarkhis yang terbangun oleh tingkat itu
mendefinisikan sifat-sifat Yang dan Yin pada masing-masing pihak.[12]
Dalam hal ini cinta adalah suatu kekuatan yang bisa menjembatani jarak
antara kaum pria dan kaum wanita dalam hubungan kekuasaan mereka. Bila cinta
yang menjembatani jarak tersebut, maka pola hubungan kekuasaan yang
mensubordinasi salah satu pihak, sangat mungkin bisa terhindarkan.
Dengan demikian pria dan wanita tidak perlu menjadi dua kutub yang
berlawanan karena secara obyektif-pun. seorang pria juga memiliki unsur
kewanitaan dalam dirinya (feminitas) dan sebaliknya seorang wanita juga
memiliki unsur kelakian (maskulinitas) dalam dirinya demi sebuah keseimbangan
atau harmoni bagi eksistensinya. Demikian pula sebaliknya kaum wanita yang
mampu menjaga unsur maskulinitas dalam dirinya akan lebih sempurna
sebagai sebuah pribadi. Lao-tzu dalam hal ini menegaskan bahwa keutuhan dan
harmoni kepribadian seseorang adalah merupakan perimbangan sifat maskulin dan
feminim dalam diri manusia.[13]
2. Derajat Pria atas Wanita
Salah satu ayat al-Quran yang paling terkenal, dan dalam kalangan tertentu
menyandang nama buruk adalah ayat al-Quran 2: 228: “Kaum pria atau derajat
lebih tinggi daripada mereka (kaum wanita)”. Bagian itu terdapat dalam sebuah
ayat yang relatif panjang yang membicarakan tentang hukum-hukum perceraian.
Ayat yang memuat kalimat diatas menetapkan masa penantian seorang
wanita setelah perceraian sebelum dia dapat menikah kembali. Tetapi mereka yang
mengkajinya dengan cermat akan menganggapnya sebagai bukti yang jelas dari
kekuatan kaum wanita yang menguasai masyarakat Islam. Sebaliknya, kaum wanita
(sebagai Yin) mempunyai keunggulan dari kelemahannya yang relatif dan
ketidakmampuan di bidang lahiriah. Jadi mereka tidak begitu berkecenderungan
untuk membuat tuntutan yang tidak pada tempatnya. Mereka mempunyai keuntungan
dari semacam sifat bawaannya sebagai hamba.
Dengan kata lain, suami mempunyai kewajiban untuk mengumpulkan
kekayaan demi isterinya, dan isteri berkewajiban untuk melayaninya karena ini.
Tetapi karena suami mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada mereka dalam
keunggulan, sementara kaum wanita mendapatkan manfaat atau keistimewaan (maziyyah)
dari kelebihan (da’f) dan ketidakmampuan yang mendasar (‘ajz
al-Basyariyyah).
Sehingga menurut Sachiko Murata, dengan menyebut kelemahan wanita sebagai
kelebihan,[14] berarti menyinggung suatu
pandangan positif dari realitas Yin. Ini adalah pandangan khas dari
suatu pendekatan terhadap al-Quran dengan mencari makna batinnya.
Sachiko Murata, dengan merujuk pada Ibn ‘Arabi, menjelaskan tentang
keunggulan (derajat) kaum pria di atas kaum wanita dengan mengkaitkannya pada
beberapa “hubungan” yang ada, pertama, dalam hubungan yang ditimbulkan
melalui penciptaan Hawa melalui Adam. Kedua, Ibn ‘Arabi mengkaitkan ayat
mengenai derajat yang lebih tinggi itu dengan keunggulan dari langit atas bumi.
Ketiga, Ibn ‘Arabi menganggap tingkat pria di atas kaum wanita. mengingat
kenyataan bahwa kosmis tidak akan pernah mencapai kedudukan Tuhan dikarenakan
hubungan khusus yang terjalin di antara mereka: penerimaan kosmik dan aktivitas
Ilahi.
Bayi, di mana ia merupakan lambang manusia yang tidak berdaya (Yin).
Dia tidak bisa apa-apa, biasanya hanya menangis. Tapi justru dalam hubungan
pria-wanita. Kaum wanita, sebagai Yin, dengan kelemahannya, pada
akhirnya menuntut perhatian dari kaum pria (Yang).
B.
Telaah Atas Penafsiran Sachiko Murata tentang Relasi Pria dan
Wanita dalam Islam.
Berbicara mengenai karya Sachiko Murata, yaitu The Tao of Islam,
tidak bisa terlepas dari pembahasan tentang latar belakng penulisannya, yaitu; Pertama,
Sachiko Murata berangkat dari pemahaman Tao untuk melihat terma-terma
dalam ajaran-ajaran Islam.[15]
Seperti telah kita ketahui bahwa “jalan setapak” adalah terjemahan yang sering
diberikan kepada nama “Tao”.
Istilah Tao, sebenarnya tidak serta merta bisa dinamakan
“jalan”.[16] Dalam sebuah karya sastra
Cina Kuno, Tao Te Ching, di mana pengertian Tao dijabarkan,
ditulis, “jalan” yang dapat digunakan sebagai jalan, bukan merupakan jalan yang
kekal”, makna yang kurang lebih mirip dengan Tariq yaitu “jalan”
spiritual dalam dunia sufisme. Begitu tingginya nilai spiritualitas Taoisme ini,
sehingga menurut Sachiko Murata, Taoisme bisa menjadi “cermin” untuk
sufisme, juga sebaliknya.[17]
Latar belakang pemikiran inilah, yaitu Tao, maka dalam
kajian bukunya ini, Sachiko Murata membahas dalam tataran spiritual agama
Islam, dan bukan dalam tataran syariah.[18]
Islam merupakan suatu sistem sosial dan juga suatu spiritual, syari’ah dan
juga Tariqah.[19]
Jalan spiritual inilah yang kemudian melatarbelakangi Sachiko Murata banyak mengambil
pandangan para ahli hikmah (demikian ia menyebut para kalangan sufi), seperti
Ibn ‘Arabi, Surahwardi dan lain-lain, untuk memperkuat argumen dalam
penafsirannya.
Kedua, Tao, dengan konsep Yin-Yang,
merupakan ajaran yang menitikberatkan pandangannya pada aspek feminin (Yin).
Tao juga merupakan suatu ajaran yang menekankan pada aspek feminin dalam
ajarannya, yaitu dengan konsep The Great Mother-nya.[20]
Sementara itu, dalam tasawuf juga banyak diwarnai oleh ciri-ciri feminin. Dua
tokoh yang menonjol dalam tasawuf yaitu Ibn ‘Arabi dan Jalaluddin Rumi,
keduanya mempunyai sikap yang sangat khas terhadap unsur wanita dan
kadang-kadang menunjukkannya dalam citra-citra yang bertentangan.[21]
Hal tersebut menjadi perhatian dari Sachiko Murata, ia mengatakan bahwa
mainstream Islam terlalu terfokus pada pemahaman syariah (ekoserik, ahli
fiqh), yang menurutnya terlalu mengagumkan pada aspek maskulitas dalam
memandang setiap permasalahan, atau dalam konteks Sachiko Murata adalah
mengenai permasalahan relasi. Sementara aspek esoterik dalam Islam cenderung
diabaikan. Aspek-aspek esoterik, yang menurut Sachiko Murata lebih menekankan
pada aspek feminitas dalam memandang realitas. Bidang inilah yang berusaha
dijelaskan Sachiko Murata dalam karya, “The Tao of Islam”. Dari
sini Sachiko Murata, kemudian menemukan titik temunya pada pandangan-pandangan
Ibn ‘Arabi, yang bila diamati secara mendalam pandangannya memiliki point-point
persamaan dengan ajaran Tao.[22]
Mengenai ajaran Ibn ‘Arabi bahwa wanita sebagai citra Tuhan, Sachiko
Murata mengingatkan bahwa Ibn ‘Arabi berbicara bukan sebagai seorang ahli pikir
rasional, melainkan sebagai seorang ma’rifat yang sendirinya telah mencicipi
realitas.[23] Sachiko Murata juga
menjelaskan bahwa konteks ajaran ini merupakan petunjuk bagi sedikit orang yang
mempunyai panggilan intelektual dan ruhani dalam mempraktekkannya. Untuk orang awam,
Ibn ‘Arabi tidak mempunyai resep khusus di luar ajaran-ajaran Syariah mengenai
hubungan manusia. Dengan kata lain, Ibn ‘Arabi menerima otoritas “patriarkhal”
dari ajaran-ajaran Islam yang menekankan perbedaan dan kemustahilan Tuhan untuk
diperbandingkan.[24]
1.
Relasi Pria dan Wanita
Wacana tentang eksistensi wanita tidak dapat dilepaskan dari
persoalan hakekat (ontologi) kedua jenis kelamin (pria dan wanita) beserta
sistem relasi di antara mereka. Jika mencoba merunut pemikiran yang berkembang
dalam persoalan relasi pria dan wanita, setidaknya ada tiga aliran besar dalam
persoalan relasi pria dan wanita.
Pertama, suatu aliran yang
menganggap bahwa perbedaan peran antara wanita dan pria merupakan perbedaan
alamiah yang sama sekali tidak perlu dipersoalkan. Ketika relasi ini
dipersoalkan, justru akan terjadi keguncangan hubungan pria dan wanita itu
sendiri.
Kedua, aliran pemikiran yang
menganggap bahwa perbedaan peran antara wanita dan pria merupakan suatu
harmonitas yang saling dukung-mendukung di antara kelemahan dan kelebihan yang
dimiliki oleh pria dan wanita.
Ketiga, aliran yang menganggap
bahwa ketidakadilan yang disebabkan oleh para gender merupakan akibat dari
relasi kuasa yang tidak seimbang antara wanita dan pria, dan cenderung
menguntungkan si kuat dan merugikan si lemah.[25]
Bagi Sachiko Murata, perbedaan peran antara pria dan wanita, bukan untuk saling
menindas, melainkan merupakan mekanisme komplementer.
Sementara itu tak satupun tradisi yang dapat mengajukan dengan
tepat persoalan yang sentral mengenai hubungan antara pria dan wanita dalam kehidupan
religius dan sosial. Islam bukanlah kekecualian dalam hal ini. Sumber-sumber
Islam penuh dengan penjelasan bernada kritik tentang kaum wanita. Kenyataan
bahwa prinsip pria selalu menguasai, setidak-tidaknya dalam aspek-aspek praktis
kehidupan, merupakan sesuatu yang sudah tak terelakkan dalam semua agama dan
kebudayaan. Dalam Islam ajaran al-Quran yang sederhana telah ditafsirkan
semakin sempit sejalan dengan berlalunya waktu.[26]
Dalam Islam, bila merujuk pada al-Quran dan hadis, terdapat tiga
pola relasi di antara pria dan wanita, yaitu: Pertama, kaum pria mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi di atas kaum wanita. Hal ini didasarkan atas ayat
al-Quran QS. 2: 228,[27]
“bahwa kaum pria mempunyai satu derajat di atas kaum wanita”, dalam konteks ini
dikaitkan dengan QS. 4:34, adalah pemberian nafkah suami kepada isterinya.
Kedua, tidak ada perbedaan antara
kaum pria dan wanita, mereka setara dihadapan Allah. Ini didasarkan pada ayat
al-Quran QS. 33: 35, ayat ini mengungkapkan bahwa dalam hal amal, profesi dan
aktualisasi diri, kaum pria dan wanita adalah setara di hadapan Allah. Yang
membedakan satu dengan yang lain adalah hirarkie ketakwaannya terhadap Allah,
bukan jenis kelaminnya. Sachiko Murata dalam memahami ayat 33:35, sepakat
dengan para mufassir lain, bahwa ayat ini menunjukkan adanya kesetaraan antara pria
dan wanita, dengan memberikan argumentasi sebuah hadis, yaitu: “Kaum wanita
adalah padanan kaum pria”.[28]
Ketiga, kaum wanita berada dalam
posisi di atas kaum pria. Hal ini sebenarnya didasarkan pada hadis dari Nabi,
yaitu bahwa “surga berada di bawah telapak kaki Ibu”,[29]
dan juga hadis mengenai keutamaan seorang Ibu atas seorang ayah.[30]
Dalam relasi antara pria dan wanita, Sachiko Murata lebih
cenderung memakai pendekatan konsep Yin-Yang untuk memahaminya.[31]
Kaum pria adalah Yang, sehingga apabila dihadapkan dengan kaum wanita
sebagai Yin, maka pria merupakan pihak yang aktif. Wanita bukan berarti
bahwa wanita adalah pihak yang lebih inferior dari kaum pria. Satu hal yang
harus diingat, bahwa setiap individu, baik pria maupun wanita mempunyai sisi Yin
dan Yang dalam dirinya.
Sehingga, menurut Sachiko Murata, dengan kualitas Yin, wanita-pun
dapat menundukkan kaum pria. Kesetaraan bukan berarti bahwa kaum wanita harus
bersikap atau memiliki kaum pria, karena Tao berarti adanya saling
melengkapi antara kekurangan satu dengan yang lain, misalnya, dalam rumah
tangga, suami adalah kepala keluarga (QS. 4: 34), sebagai Yang, maka ia
memberikan nafkah kepada sang isteri, sebagai Yin, yang tidak menutup kemungkinan
terjadi sebaliknya.
Posisi diatas tergantung dari mana sudut pandangnya. Kaum pria dan
kaum wanita sama-sama kurang dari yang lain dalam suatu tingkat tertentu,
mereka justru menemukan kepuasan dan kelengkapan dari yang lain karena alasan
itu. Atau dengan bahasa lain, Yin disebut Yin, karena adanya Yang.
Begitu pula Yang disebut Yang, karena adanya Yin. Konsep Yin-Yang
ini menyatakan bahwa keberlawanan itu bukan menuju pada penolakan yang satu
atas yang lain, tapi lebih menuju pada saling tarik-menarik membentuk satu
percampuran yang menyeluruh antara keduanya.
Bagi Sachiko Murata, pola relasi antara pria dan wanita adalah relasi
komplementer, yang menganggap bahwa perbedaan antara pria dan wanita merupakan
suatu harmonitas yang saling dukung-mendukung di antara kelemahan dan kelebihan
yang dimiliki oleh pria dan wanita. Pria adalah Yang, wanita sebagai Yin;
ada siang ada malam, ada hitam ada putih, dalam Taoisme.
Dengan kata lain, segala sesuatu tidak dapat dipahami dalam bentuk
tunggalnya yang berdiri sendiri, melainkan ia dapat dipahami dalam bentuk tunggalnya
yang berdiri sendiri, melainkan ia dapat dipahami oleh karena keberadaan yang
lainnya, yang merupakan kebalikannya.[32]
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa ada perbedaan antara
pria dan wanita. Karena Allah telah berfirman, bahwa “kaum pria mempunyai atau
derajat atas kaum wanita”, Sachiko Murata memahami “derajat” itu sebagai yang
bersifat ontologis (wujudi), yang tidak akan hilang. Sachiko Murata
menganalogkan ketinggian derajat antara pria dan wanita ini seperti halnya,
tingginya derajat Tuhan atas makhluknya, atau lebih tingginya langit atas bumi
(dalam perspektif Yin-Yang, langit adalah Yang (pihak yang
memberi) dan bumi adalah Yin (pihak yang menerima). Sehingga, “derajat
di sini, bukan hanya berhenti dalam tataran realitas, di mana seorang suami
memberikan nafkah kepada sang isteri.
Namun bagi Sachiko Murata, “derajat” ini mengandung makna yang
lebih mendalam jika ditinjau dari sudut pandang ta’wil-nya, yaitu yang
memandang hubungan metakosmos (Tuhan), makrokosmos (alam), dan mikrokosmos
(manusia).[33] Menurut Sachiko Murata
“derajat” itu tetap terdapat antara pria dan wanita, namun ketika bersinggungan
dengan kehendak Tuhan, Tuhan melakukan apa yang diinginkannya, bahwa tidak ada perbedaan
antara keduanya.
Keadaan diatas bukan berarti bertentangan dengan point pertama,
karena Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, maka secara logika dan metafisika
terdapat unsur pembeda yang membedakan satu anggota pasangan dari anggota yang
lain, karena kalau saja keduanya sama dalam segala hal niscaya mereka identik.
Karena itu perlu ada satu perbedaan di antara keduanya. Pria maupun wanita
dicipta untuk tujuan kebakaan dan spiritual.
Namun demikian, di bawah tingkat itu, terdapat perbedaan-perbedaan
di antara keduanya yang realitasnya tidak mungkin diabaikan atas nama egalitarisme
yang manapun. Menurut Sachiko Murata, pemikiran masyarakat Islam terhadap pola relasi
pria dan wanita dipengaruhi oleh cara pendekatan mereka tentang realitas Ilahi,
dengan Tanzîh dan Tasybîh.
Kontras antara dua pendekatan dalam mendekati realitas ini
tercermin dalam seluruh pemikiran dan masyarakat Islam. Mereka yang menekankan
kejauhan dan kekhasan Allah (Tanzîh) cenderung berkutat di dunia
kemajemukan dan perbedaan. Mereka menekankan perbedaan realitas individual, dan
realitas dari segala perbedaan. Sebaliknya, mereka yang menekankan keserupaan,
kedekatan Allah (Tasybîh), lebih suka berkutat pada kemantapan kesatuan
dan antara hubungan. Segala perbedaan bersifat relatif dan bisa dihapuskan
dengan memakai satu sudut pandang yang berbeda.[34]
Sebuah masyarakat yang terlalu menekankan sifat Agung Tuhan (maskulin),
Tuhan yang tidak terjangkau, maka masyarakat tersebut cenderung terlalu
menekankan hukum-hukum dan syariat. Hal ini tercermin pada prilaku sosial
masyarakat yang keras, dan terlalu menekankan kekuasaan dan hukum. Kadar
kualitas patriarkhal dalam praktik kehidupan bermasyarakat adalah sangat
tinggi, dan rendah kadar kualitas matriarkhal.
Namun masyarakat yang menginternalisasikan Tuhan sebagai yang
dekat dan pengasih (feminin), dalam masyarakat kehidupan sosialnya penuh
toleransi dan mementingkan keharmonisan sosialnya.[35]
Bangunan relasi antar-manusia harusnya mengendepankan asas persamaan hak dan
kewajiban yang sama antara pria dan wanita.
Artinya, sebagai prinsip pertama, relasi pria dan wanita
tidak mengenal adanya perbedaan kedudukan, karena baik pria maupun wanita tidak
boleh merendahkan satu sama lain. Prinsip persamaan hak berarti memberi peluang
sama pada pria dan wanita untuk memperoleh hak-hak politik, pendidikan, waris,
dan lain-lain.
Prinsip kedua adalah kemerdekaan atau kebebasan. Prinsip
kebebasan berarti memberikan otonomi penuh kepada setiap manusia, baik pria dan
wanita dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Prinsip ketiga adalah persaudaraan. Antara pria dan wanita merupakan
kesatuan penting dalam hubungan kemanusiaan. Prinsip keempat adalah
keadilan. Dalam tataran sosial, keadilan harus menjadi landasan relasi antar
manusia. Berpijak pada semangat ini, berarti hubungan antara pria dan wanita
harus memberikan ruang yang adil bagi keduanya.
Perbedaan antara pria dan wanita sebagai akibat dari perbedaan
biologis tidak harus membawa konsekuensi pada perbedaan yang adil, sehingga
menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.[36]
Pada akhirnya, pemahaman Sachiko Murata mengenai relasi pria dan wanita ini
menimbulkan beberapa catatan besar yang perlu dikritisi, yaitu:
Pertama, Konsep Yin-Yang,
yang disodorkan Sachiko Murata, memberikan penjelasan bahwa Yin adalah
pihak yang pasif, sementara Yang adalah pihak yang aktif. Hal ini
mengesankan tidak ada kejelasan posisi dalam konsep relasi pria dan wanita.
“Apakah pria (sebagai Yang) mempunyai posisi yang lebih tinggi dari
wanita (sebagai Yin), ataukah wanita yang lebih tinggi dari pria, ataukah
mereka sebenarnya seimbang?
Prinsip relasi komplementer mengenai kelemahan dan kelebihan peran
masing-masing yang disandang oleh seorang pria dan wanita, apakah bisa
dijadikan pegangan, ketika mengenai pembagian “peran” itu sendiri masih
menimbulkan pertanyaan, apakah ia sudah mencerminkan adanya keadilan di
dalamnya ataukah belum ?. Ini yang belum dijawab oleh Sachiko Murata.
Kedua, kemudian Sachiko Murata
inipada akhirnya hanyalah seperti satu bentuk romantisasi-spiritual, hanya
berkutat dalam dunia yang seakan tidak nyata, merupakan pandangan yang sangat
“romantis’ dan penuh dengan visi spiritualitas yang tinggi.
Pandangan-pandangannya tidak bisa diterapkan dalam realitas kehidupan. Meskipun
Sachiko Murata mengakui bahwa ia tidak menawarkan suatu jawaban apakah wanita
muslim lebih tertindas dibandingkan wanita yang lain atau tidak. Namun, yang
Sachiko Murata pertahankan adalah bahwa secara umum peran wanita dalam Islam
tradisional konsisten dengan pandangan dunia Islam.
[1] Sachiko
Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi
dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti, MS. Nasrullah, Mizan, Bandung,
1996, h. 134.
[2] Ibn
“Arabi melihat sifat-sifat Ilahi yang berkaitan dengan ketakbandingan dan
keserupaan sebagai makna penting dari kedua tangan itu. Sachiko Murata. h. 131.
[3] Ibid.,
h. 68.
[4] Sachiko
Murata, dengan merujuk pada Razi, memaparkan kebingungan para malaikat yang
diutus oleh Allah untuk mengumpulkan tanah untuk menciptakan Adam, malaikat
begitu terheran-heran: “Rahasia macam apa ini? Bumi yang hina dina dipanggil ke
Hadirat Zat Maha Tak Terjangkau dengan segenap kehormatan dan kemuliaan”. Namun
kelembutan Ilahi dan kebijakan Tuhan berbisik lembut ke dalam relung rahasia
dan misteri malaikat, “Aku tahu apa yang tidak kalian ketahui”, (QS.
2: 30).
[5] Ibid.,
h.122-126.
[6] Hadis
ini terdapat dalam dua kitab Sahîh. Dalam kitab Bukhari dan Muslim terdapat
enam hadis. Dua hadis menggunakan lafal من ضلع , yang berarti yaitu “dari tulang rusuk”
(dalamSahîh al-Bukhâri, jilid III, h. 145, danm sahih Muslim, juz 10, h. 57,
sementara empat hadis menggunakan lafal آان ضلع yang
berarti yaitu, “seperti tulang rusuk”, (dalam Sahîh al-Bukhâri, jilid II, hlm.
103 dan jilid II, h. 145, serta Sahîh Muslim, juz 10, h. 57).
[7] Sachiko Murata, h. 244
[8] Sachiko
Murata, h. 242-254.
[9] Al-Quran
menggunakan istilah al-insân, saat menggambarkan proses penciptaan
manusia selektif untuk mengacu pada manusia hanya apabila mereka representasi
manusia yang sadar diri, berpengetahuan, dan otonom secara moral. Fatima
Mernissi, Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, Terj. Tim LSPPA,
LSPPA, Yogjakarta, 2000, h. 59.
[10] Sachiko
Murata, William C. Chittick, Trilogi Islam (Islam, Iman dan Ihsan), terj.
Ghufron A. Mas’adi, PT. Raja Grafindo Persada, 1997, h. 179.
[11] Lyn
Wilcox, Wanita dan al-Quran dalam Persektif Sufi, terj. DICTIA, Pustaka
Hidayah, Bandung, 2001, h. 58.
[12] Sachiko
Murata, The Tao... h. 243.
[13] FX. Rudy Gunawan, Mendobrak Tabu Sex, Kebudayaan dan
Kebejatan Manusia, Galang Press, Yogjakarta, 2000, h. 112 –114.
[14] Nurul
Agustina, Nurullah Ali Fauzi (ed), “Perempuan dalam Perbincangan”, dalam Ulumul
Quran, NO. V dan VI, Vol. V, 1994, h. 50.
[15] Sachiko
Murata, “Pengalaman Saya Mengajar Islam di Barat”, dalam Ulumul Quran, Nomor
2, Vol. V, 1994, h. 48-52.
[16] Ada
tiga cara untuk memahami “jalan” ini, pertama, Tao adalah “jalan
dari kenyataan terakhir”. Tao ini tidak dapat dirangkap karena ia
melampui jangkauan pancaindera. Ia melebihi semua pemikiran dan khayalan.
Dengan sifatnya yang maha besar dan trasenden, Tao yang paling agung ini
adalah dasar bagi semua yang ada. Walaupun pada akhirnya Tao itu
transenden, tapi ia sekaligus juga imanen. Dalam hal kedua inilah ia
merupakan “jalan alam semesta”, sebagai akidah, yang ada. Walaupun di belakang,
ia sekaligus juga berada di tengah tengah yang ada itu sendiri, karena jika Tao
mengambil bentuk yang kedua ini, ia “meninggal wujud fana” dan memberi tahu
segala sesuatu. Dalam arti yang ketiga, Tao menunjuk pada “jalan
bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya”, agar selaras dengan cara kerja
alam semesta ini. Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 233.
[17] Budhy
Munawar Rachmat, “New Age Gagasan-gagasan Mistik-Spiritual Dewasa Ini”, dalam,
Muhammad Wahyuni Nafis (ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Paramadina,
Jakarta, 1996, h. 45 – 79.
[18] Sebagaimana
dijelaskan diawal, bahwa Sachiko Murata menganologkan Tao dengan ajaran
ahli Hikmah (ma’rifat), sementara Confusionis dianalogkan dengan
ajaran syariah. Titik pusat perhatian Konfusius selalu pada manusia,
sedangkan Lao-tzu memperhatikan apa yang ada dibalik manusia itu. Huston
Smith, Op. Cit., hlm. 251. Meskipun kemudian, mengenai Tao atau Yin-Yang.
Itu adalah pemahaman yang agak tergeneralisir atas istilah-istilah itu. Sachiko
Murata menyadari bahwa dalam kenyataan aktualnya ada perbedaan pandangan yang
besar dengan berbagai persoalan ini dalam sejarah Cina, tetapi Sachiko Murata
tidak terlalu menonjolkan perbandingan-perbandingan yang dibuatnya. Sachiko
Murata, The Tao of Islam…..(Op. Cit.), h. 28.
[19] Sayyed
Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Pustaka, Bandung,
1994 , h. 45.
[20] Tao
disebut dengan sang “Ibu”, “kegelapan”,
“misteri”. Segala hal yang ada di dunia berasal dari rahim sang “Ibu”. Dia
adalah pintu gerbang bagi segala sesuatu (ciptaan) yang ingin memasuki dunuia
nyata.
[21] Annemarie
Schimmel, Jiwaku adalah Wanita Aspek Feminin dalam Spiritual Islam, terj. Rahmani Astuti, Mizan,
Bandung, 1998, h. 50.
[22] Pemilihan
sumber inipun sebenarnya bukan tanpa alasan, Ibn ‘Arabi misalnya, beliau
adalah, termasuk dalam kelompok filosof-tasawuf, yang beliau benar-benar
memakai bahasa simbol dalam pengungkapan pandangannya, dan juga beliau adalah
seorang tokoh yang menyatakan bahwa aspek feminin merupakan bentuk di mana
Tuhan paling dapat dikenal. Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah…, h. 149.
[23] Sachiko
Murata, The Tao of Islam…, h.
256.
[24] Ibid., h. 264.
[25] Mansour
Fakih, “Isu-Isu dan Manifestasi Ketidakadilan Gender”, dalam Mukhatib MD. (ed) Menggagas
Jurnalisme Sensitif Gender, PMII-INPI Pact, Yogjakarta, 1998, h. 6.
[26] Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita..., , h.
241.
[27] Ayat
ini menimbulkan berbagai penafsiran di kalangan ulama muslim, bila dikaitkan
dengan ayat-ayat mengenai kepemimpinan (QS. 4:34), dan penciptaan manusia (QS.
4:1) mengesankan adanya inferioritas kaum wanita.
[28] Abi
Isa Muhammad Ibn Abi Surah, Sunan at-Tirmidzi.
[29] Sebuah hadis yang menunjukkan betapa tingginya derajat ibu
seharusnya dipandang oleh anak, pria maupun wanita.
[30] Nabi bersabda, “Nabi ditanya, “di antara semua orang,
siapakah yang paling pantas menerima kebaikan cinta kasih (birr) ?”. dia
bertanya lagi, “setelah itu siapa ? Nabi berkata, “Ibumu. Setelah itu baru
ayahmu’. (Sahih al-Bukharî juz. VII, h. 69., Sahih muslim, Juz. VIII, h. 2).
[31] Sachiko
Murata, The Tao of Islam..., h.
109.
[32] Dalam Yin-Yang,
setiap prinsip selalu menghasikan hal yang lain, sehingga segala kejadian alam
mengandung potensi yang berlawanan dengan dirinya, misal, dalam sakit ada
sehat, begitu pula sebaliknya.
[33] Bagi Sachiko Murata, hirarkhi itu tidak buruk, sebab ia
sudah menjadi realitas. Sachiko Murata berusaha untuk menempatkan hirarkhi itu
pada tempatnya dengan menjelaskan hubunganhubungan itu dalam pemikiran Islam
sebab premis Islam adalah shahabat : yang berimplikasi pada Tauhid, juga
menunjukkan adanya hirarkhi, antara Tuhan dan makhluknya. Sehingga apabila
hirarkhi ini dihapuskan berarti juga menghancurkan Tauhid. Sachiko Murata, The
Tao of Islam..., , h. 416.
[34] Sachiko
Murata, The Tao of Islam..., h.
31.
[35] Ratna
Megawangi, Membiarkan Berbeda, h. 230. Meskipun demikian, penisbatan
sifat-sifat kepada Tuhan, menciptakan citra Tuhan disertai sifat-sifat fana
dengan, misalnya, menerapkan gender, semuanya itu tidak berlaku bagi Allah.
sebab, hanya ada satu Tuhan, yakni Allah (QS. 53: 21-23). Tuhan melampui gender
yang menjadi karakteristik makhluk, bukan Tuhan. Penerapan gender kepada Tuhan
Yang Maha Mulia, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Ihwal apakah gender yang
dinisbatkan itu feminin atau maskulin tidaklah relevan. Menisbatkan gender
kepada Allah tidaklah tepat, karena Dia Maha Esa dan Maha Tunggal. Lynn, Wanita
dan Al-Quran..., h. 144.
[36] Siti
Musdah Mulia, Marzani Anwar (ed), Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif
Islam, DEPAG RI, Jakarta, 2001, h. 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar